Novel: Negeri Van Oranje

Negeri Van Oranje
oleh: Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Nisa Riyadi, Rizki Pandu Permana

Sinopsis:

Kata siapa kuliah di luar negeri itu gampang?

Perkenalkan Lintang, Banjar, Wicak, Daus, dan Geri. Lima anak manusia terlahir di Indonesia, terdampar bersekolah di Belanda demi meraih gelar S2. Mulai dari kurang tidur karena begadang demi paper, kurang tenaga karena mesti genjot sepeda 5 km bolak-balik ke kampus setiap hari, sampai kurang duit hingga terpaksa mencari pekerjaan paruh waktu; semua pernah mereka alami.

Selain menjalani kisah susah senangnya menjadi mahasiswa rantau di Eropa, mereka juga menjalin persahabatan dan berbagi survival tip hidup di Belanda. Mereka pun bergelut dengan selintas pertanyaan di benak mahasiswa yang pernah bersekolah di luar negeri: untuk apa pulang ke Indonesia? Dalam perjalanan menemukan jawaban masing-masing, takdir menuntut mereka memiliki keteguhan hati untuk melampaui rintangan, menggapai impian, serta melakukan hal yang paling sulit: the courage to love!

Novel ini ditulis dengan gaya lincah, kocak, sekaligus menyentuh emosi pembaca. Kita juga akan diajak berkeliling mulai dari Brussels hingga Barcelona, mengunjungi tempat-tempat memikat di Eropa, dan berbagi tip berpetualang ala backpacker.



Read More......

Novel: Negeri 5 Menara

Negeri 5 Menara
oleh: Ahmad Fuadi

Sinopsis:

"Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah berjuang."

Alif Fikri lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur dan mandi di air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya: belajar di pondok.

Mantra sakti "man jadda wajada", artinya "Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses" telah menjadi motivator bagi Alif dalam menuntut ilmu di Pondok Madani (red, Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jatim). Alif bersahabat dengan lima Sahibul Menara yaitu Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka menunggu Maghrib sambil menatap awan lembayung berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Di lima negara yang berbeda, di lima menara impian masing-masing. Yang mereka yakini adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.

"Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang."



Read More......

TeenLit: Imaji Terindah

Imaji Terindah
oleh: Sitta Karina

Sinopsis:

Chris Hanafiah -atau lebih dikenal sebagai Prince Christopher di sekolahnya- tidak pernah benar-benar tertarik dengan cewek sampai ia bertemu siswi pindahan dari Tokyo, Aki.

Aki kembali ke tanah air bukan tanpa alasan, dan ia hanya ingin menjalani hidup normal sebagai remaja. Tapi mungkinkah ‘hidup normal ala remaja' berarti mengesampingkan fall-in-love stuff, apalagi kalau dirinya malah berhadapan dengan seorang Hanafiah muda yang memiliki moto ‘I get what I see' ?

Kini mereka bertemu, dan konflik batin di masing-masing anak muda ini kian bergolak.
Saat Chris jatuh cinta setengah mati kepadanya, Aki malah terus menolaknya... dengan sengaja.

Namun, apapun hidden agenda yang Aki miliki, Chris bertekad akan mengungkapnya...



Read More......

Novel: Setelah Aku Pergi

Ways to Live Forever
Setelah Aku Pergi
oleh: Sally Nicholls

Sinopsis:

1. Namaku Sam
2. Umurku sebelas tahun
3. Aku suka mengumpulkan cerita dan fakta-fakta yang fantastis
4. Aku mengidap leukemia
5. Saat kalian membaca buku ini, mungkin aku sudah pergi

Sally Nicholls membuka Chapter pertama buku fiksi karangannya ini dengan daftar seolah-olah memang benar Sam yang menulis buku hariannya.

Sam, seorang bocah laki-laki berusia 11 tahun penderita leukimia lymphoblastic akut...menuliskan hari-hari terakhir dalam hidupnya. Mengetahui bahwa hidupnya tidak akan lama lagi, ia ingin memberikan kenangan yang indah bagi orang-orang yang ditinggalkannya dan hidup di hati mereka selamanya. Sebuah kisah yang sangat menyentuh..., bagaimana seorang anak menghadapi kematian ini tidak dengan kesedihan dan rasa putus asa, ia melakukan hal-hal yang ingin ia lakukan sebelum ia pergi. Walaupun banyak pertanyaan-pertanyaannya seputar kematian yang tidak terjawab, namun ia dapat pergi dengan tenang saat berada ditengah seluruh anggota keluarga.

Sebuah pelajaran bagi kita, bahwa apapun yang terjadi di dalam hidup sama sekali tidak perlu kita sesali. Karena hanya dengan menyesal tidak akan menjadikan hidup lebih baik. Yang terpenting adalah menjadikan hidup ini berharga bagi kita dan orang-orang di sekeliling kita.

Seperti komentar Granny di buku ini," ..Kematian itu seperti ulat dalam kepompong. Kalau takut keluar dari kepompong, kapan bisa berubah jadi kupu-kupu yang cantik?"



Read More......

Cerpen: Saat Ultah

Saat Ultah
oleh: Putra Gara


Sekaranglah kesempatannya, ya sekaranglah kesempatannya, benak saya membatin, menerobos keraguan yang sudah cukup lama saya pendam.
Maka, segera saya bungkus "Jalan Menuju Cinta"-nya Jalaludin Rumi, dan "Surat-surat Cinta"-nya Khalil Gibran, dengan kertas kado berwarna merah muda.
Ya, sekaranglah kesempatannya, sekali lagi, benak saya membatin, memantapkan hati saya.
***

"Retnooo...! Retnooo...!" panggil Ratih setengah teriak. Gadis itu tersenyum ke arah saya. Senyumnya manis, tidak beda dengan senyum Retno, adiknya.
Saya juga tersenyum.
"Masuk aja, Van," katanya. "Sebentar ya saya panggil Retno-nya."
Saya mengangguk sambil tersenyum lagi. Sepatu kets yang saya kenakan saya buka sebelum melangkah ke dalam rumah. Setelah sampai di dalam, saya menjatuhkan pantat di atas sofa.
Sejak dari rumah, jantung saya yang berdetaknya kelewat rajin semakin menjadi-jadi saja. Bahkan waktu saya mengendarai motor dari rumah saya ke rumah Retno ini pun, perasaan suara detak jantung saya lebih cepat ketimbang lari sepeda motor itu. Ada hembusan napas berat dari hidung saya. Tanpa sadar, saya remas kado di tangan. Gelisah.
Beberapa menit kemudian, sosok dengan gaun coklat muda yang pada lengan tangannya ada dua garis hitam muncul dari dalam kamar.


***
Ada senyum yang mengembang.
Ada pula senyum balasan.
Untuk beberapa detik, di antara senyuman, mata saya beradu pandang. Tapi kemudian, sosok bergaun coklat yang punya rambut panjang itu tertunduk malu. Tersipu.
"Hai...." sapa saya, pelan.
Tidak ada sahutan, cuma ada senyum yang kembali mengembang. Perlahan, masih dengan tersipu malu, sosok dengan gaun coklat berambut panjang, gadis cantik nan manis bernama Retno Ayu Larasati itu duduk di sofa.
"Main, Van," suara Retno merdu terdengar.
"He-eh," saya menjawab dibarengi anggukan.
Kami saling senyum lagi.
"Kenapa tadi siang nggak masuk sekolah?" tanya saya, hati-hati.
"Sengaja," jawab Retno, sudah tidak tersipu lagi.
"Bukankah... bukankah... hari ini kamu ulangtahun?"
Retno tersenyum. "Iya," jawabnya, sambil memandang saya sebentar. "Setiap ulangtahun, dari mulai kelas dua SMP, saya sengaja mengurung diri di rumah, di dalam kamar," kata Retno. "Saya kepingin ngoreksi diri saya saat hari kelahiran saya. Makanya saya nggak ke mana-mana."
Hening....
"Sekarang saya sudah kelas dua SMA," ujarnya, cuma sejenak. "Saya kepingin belajar dewasa. Lewat perenungan, di hari kelahiran saya," tambahnya lagi.
Hening lagi.
Saya memandang Retno.
Retno tertunduk.
"Retno...."
"Hmmm...."
"Tadi, saat kamu menyudahi kata-kata kamu itu, kamu pun sudah dewasa, No," kata saya, pelan. "Selamat, ya."
Retno mengangguk dengan senyuman.
"Nggak ada yang bisa saya berikan selain ini," saya menyodorkan kado di tangan saya. "Cuma buku bacaan."
Retno menerima kado pemberikan saya. "Makasih ya, Van," katanya, sambil ingin membuka bungkus kado itu.
"Eh, bukanya nanti saja, kalau saya sudah pulang. Jangan sekarang. Sebentar saya malu."
Retno kembali tersenyum. Saya juga.
Lalu diam.
Hening pun ada lagi.
Agak lama, hening itu menguasai.
"Silakan diminum airnya, Van." Tiba-tiba Ratih sudah berada di antara kami, sambil meletakkan air putih di atas meja.
"Waduh, saya sampai lupa ngambilin air minum," Retno tersenyum.
"Nggak apa-apa. Makasih ya, Tih."
Ratih juga tersenyum. Lalu pergi kembali membawa baki.
Saya meminum air yang dibawa Ratih, sedikit. Lalu diam lagi.
Hening lagi.
"Jangan pandang saya seperti itu, Van!" Retno tersipu, ketika mata saya menjajahnya.
"Kenapa?"
"Malu." Retno tersipu lagi.
Saya tersenyum. "Saya ingin melihat hati kamu. Sebenarnya sih, sudah lamaaa banget," kata saya, sambil menggoda.
"Lho, mana bisa," Retno merunduk. "Hati saya ada di dalam, kok, di sini," ia meraba dadanya dengan jari manisnya.
Saya tersenyum lagi. "Hati kamu sebenarnya dekat banget dengan saya, No. Cuma... saya takut mengambilnya, takut kamu marah."
Kali ini Retno yang tersenyum. "Kenapa?" tanyanya sembari mempermainkan ujung rambut panjangnya. "Apakah selama ini saya pernah marah sama kamu?"
"Nggak, kamu nggak pernah marah sama saya. Kamu baik, kok!"
Kami berdua saling senyum lagi.
Lalu hening lagi.
"Retno...." Kalimat saya digantungkan. "Kamu nggak marah kalau saya bicara terus terang sama kamu?"
"Lho, tadi kan sudah saya bilang, apakah saya pernah marah sama kamu? Dan dari tadi juga, kita sudah saling bicara, kok."
"Tapi yang ini lain, No." Deg, deg, deg! Tiba-tiba detak jantung saya kelewat rajin berdetak lagi, setelah beberapa menit yang lalu sudah kembali normal.
"Lain apanya? Coba deh, bicara aja."
"Benar, nih? Kamu nggak marah?"
Retno tersenyum.
Detakan jantung saya seperti laju kereta, cepaaaat banget.
"Saya... saya... saya suka kamu, No!"
Plep! Langsung wajah Retno merona merah. Dia merunduk. Tidak tersenyum dan tidak tersipu lagi.
Dia diam.
Dan terlambat sudah bagi saya untuk menyesal.
Apalagi menarik kembali kalimat yang sudah terlontar.
Lama juga kami saling diam.
Retno tetap merunduk.
Dan saya tetap menatap lekat ke gadis yang duduk di depan saya, yang dipangkuannya ada kado berwarna merah muda.
"Maafkan saya, Retno, kalau saya bersalah ngucapin kata-kata itu." Saya menarik napas panjang.
Sedikit, Retno mengangkat kepala. "Nggak, kamu nggak salah, kok. Itu memang hak kamu kalau kamu kepingin ngucapin kata-kata itu."
"Jadi kamu nggak marah?"
Retno menggeleng.
"Kamu... kamu juga suka saya, No?"
Retno tidak menjawab. Dia merunduk dalam. Seperti ada ganjalan di napas yang ia keluarkan.
Hening lagi.
Saya menunggu saat-saat selanjutnya.
Retno mengangkat kepala. "Kamu benar-benar suka sama saya, Van?" tanyanya, serius.
Saya tersenyum dan mengangguk pasti.
Retno merunduk lagi. "Kalau kamu benar-benar suka sama saya, saya pinta sama kamu, lupakanlah saya," ucapan Retno begitu mengagetkan saya.
"Kalau kamu nggak cuma sekadar bilang suka sama saya di mulut kamu, penuhi permintaan saya itu, Van. Buktikan kalau kamu memang benar-benar suka sama saya...."
"Retno, saya... saya nggak mengerti apa yang kamu bicarakan, No?"
"Berusahalah untuk mengerti walau kamu nggak mengerti, Van," kata Retno, matanya berkaca-kaca. "Karena... karena saya hidup nggak akan lama lagi! Saya sakit, Van. Saya nggak dapat menahan nyeri sakit kanker saya." Airmata Retno mengkristal.
Butiran itu jatuh di pipinya yang halus.
Ada isak yang tertahan.
Isak itu terdengar begitu giris menyayat kalbu.
"Retno...." Suara saya bergetar. "Kamu nggak pernah bilang sebelumnya, No!"
Retno merunduk. Gadis di hadapan saya ini tiba-tiba jadi begitu rapuh.
"Saya nggak ingin orang lain tahu selain keluarga saya, Van," kata Retno, setelah diam beberapa detik. Tangannya sibuk mengusap airmata yang menetes. "Penyakit itu sudah saya rasakan bertahun-tahun. Sekarang saya memberitahukannya ke kamu. Saya harap kamu mau mengerti tentang saya. Saya nggak ingin kematian saya meninggalkan beban di hati seseorang. Kalau kamu benar-benar menyukai saya, lupakan saya, Van. Anggap saya nggak pernah ada."
"Tapi, No... kematian hanya milik Tuhan. Kamu jangan sampai larut dengan penderitaan seperti ini. Saya... saya menyayangi kamu apa adanya, No."
Retno terdiam.
Airmatanya belum berhenti mengalir.
Saya jadi ikut larut dalam kesedihannya.
Ada airmata juga, di mata saya.
"Retno...."

***
Hening dan sepi sekali hati saya. Saya tak kuat dan tak tahan melihat gadis itu  melewati hari-harinya dengan kesedihan dan penderitaan akan penyakitnya. Ingin  rasanya saya selalu bersamanya, melewati hari-harinya yang katanya tidak lama lagi  itu—seperti yang ia katakan dua hari yang lalu saat hari ulangtahunnya. Tapi  kecelakaan sepeda motor saat saya pulang dari rumahnya, menghempaskan saya ke  sebuah alam yang begitu jauh dari alam gadis itu.
Retno di alam fana, sedangkan saya sudah di alam nan tak tersentuh.
Ah, maut, memang tidak pernah ada yang menduganya.
Gadis itu menangis. Entah apa yang disedihkannya. Dalam parau suaranya, saya mendengar nama saya disebut. Meskipun pelan, tapi saya amat jelas mendengarnya. Sudah dua hari ini, dalam kesendiriannya, nama saya selalu disebut-sebut. Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Karena alam saya dengan alam Retno sudah berbeda.

Read More......

Cerpen: Masih Ada Hari Esok

Masih Ada Hari Esok
oleh: Karen Angela


Butuh satu jam untuk mengenal seseorang, satu hari untuk jatuh cinta, namun untuk melupakannya bisa jadi butuh seumur hidup.
Pagi belum lagi beranjak siang, namun langit di atas kota Jakarta kelabu tua. Mendung menyelimutinya. Hujan turun rintik-rintik. Air yang jatuh dari atas langit bagai jutaan jarum lembut. Membasahi genting, dedaunan, lalu mengalir sepanjang jalan menuju selokan.
Hari ini adalah hari keempat belas Astri berada di rumah sakit. Setelah dioperasi pada hari pertama dan beristirahat total selama hampir dua minggu, dia akhirnya diperbolehkan pulang. Luka-luka di kakinya sudah mengering. Semua barang-barang Astri juga sudah dimasukkan ke mobil.
Gadis itu mencoba berdiri meski dengan bantuan tongkat.
"Pagi, Dok!" sapanya begitu melihat dokter yang ikut membantu perawatannya sedang berbicara dengan seorang suster di pintu kamar.
Dokter muda itu memandangnya sejenak, lalu membalas sapaannya.
"Sudah mau pulang?"
"Ya, Dokter. Sekalian saya mau pamit."
"Baiklah, Astri. Satu saja pesan saya, hidup harus berjalan terus. Kamu tetap kuat dan tabah ya? Selain berusaha menjaga kondisi badan, mulailah berlatih berjalan setahap demi setahap."
Astri mengangguk. "Terima kasih atas bantuannya, Dokter."
Lalu dibantu papa dan mamanya, gadis itu masuk ke dalam mobil. Semenit kemudian, mobil sedan yang membawanya telah melaju di jalan.
Astri beralih ke tepi jendela. Hujan masih menyisakan rintiknya. Dia teringat kembali tentang Kevin, cowok yang sangat dicintainya, yang dulu pernah menemaninya merenda hari. Sampai detik ini, Astri belum mampu melupakannya. Padahal cukup hitungan waktu untuk mengenang kehangatan dan cinta Kevin padanya. Kecelakaan mobil telah membawa cowok itu tidur lelap ditemani kedamaian. Sementara Astri terpuruk dalam kesendiriannya kini.
Memang, tak seorang pun dapat menduga kapan musibah itu datang. Semuanya terjadi begitu cepat. Astri sama sekali tak pernah menyangka, malam itu adalah malam terakhir dia bersama Kevin. Cowok itu mengajaknya dinner bareng seminggu menjelang keberangkatannya untuk melanjutkan sekolah ke negeri Paman Sam.
"Jika rentang waktu setahun ada 365 hari, maka berapa kali matahari terbenam yang akan kita lewatkan hingga kita bertemu lagi?"
"Aku nggak tahu, Vin." Astri menatap kosong. Dia bahkan belum menyentuh potongan steak -nya yang terhidang di meja.
"Suatu hari nanti, aku ingin kita bisa menikmati matahari terbit bersama-sama. Begitu terus setiap hari." Kevin menggenggam jemari Astri lembut. Mencoba memberi keyakinan pada gadis itu.
Tapi nyatanya, apa yang terjadi sungguh ironis.
Astri masih ingat betul, dalam perjalanan pulang Kevin membanting setir mobilnya ke kanan guna menghindari tabrakan dengan mobil depan yang ngerem mendadak. Namun bukannya terhindar dari maut, tiba-tiba malah muncul mobil dari arah sebaliknya menabrak mereka.
Mobil Kevin yang ringsek berat menjadi saksi bisu betapa kecelakaan itu demikian parah dan tak menyisakan ampun. Saat keduanya tak sadarkan diri di rumah sakit, cowok itu duluan menghembuskan napas terakhirnya. Astri beruntung masih selamat. Dia hanya menderita patah kaki ringan dan beberapa luka gores.


***

Satu tahun lebih berlalu....
Tak mudah memang bagi Astri menjalani hari dengan trauma yang masih membekas. Tak seorang pun juga begitu ambil pusing dengan sikapnya yang tertutup dan cenderung pendiam. Ya, kecuali Andhika.
Kring! Begitu bel kampus berbunyi, Astri bergegas meninggalkan ruangan. Rasanya ingin cepat-cepat pulang karena begitu banyak yang harus dikerjakannya di rumah siang ini.
"Astri, tunggu! Aku mau ngomong."
Astri memperlambat langkahnya sambil menoleh ke arah suara yang memanggil namanya. Tampak Dhika berlari-lari kecil ke arahnya. Sedikit terengah begitu berhasil menjejeri langkahnya.
"Aku nggak punya banyak waktu," Astri lantas memotong seraya membalikkan tubuhnya.
"Please, aku cuma pengen nanya. Boleh nggak aku ke rumah kamu malam minggu ini?" imbuh Dhika sambil tersenyum kikuk.
"Kenapa? Beberapa jam aja nggak lihat aku bikin kangen, ya?" tatapan mata Astri melunak.
"Jadi boleh ya aku main ke rumahmu?"
"Siapa yang bilang boleh?" Astri mendelik. "Aku sibuk!"
"Sibuk? Emangnya mulai punya bisnis apaan?"
Astri tertawa kecil. Andhika yang baik selalu mengingatkannya pada Kevin. Tubuhnya yang tinggi menjulang, kulitnya yang putih serta senyum baby face-nya seolah menjelma pada diri Dhika. Hanya saja....
Astri menarik napas dalam-dalam. "Pokoknya nggak boleh, kecuali...."
"Kecuali apa?"
"Kecuali kamu bisa mempertemukan aku dengan Kevin," tantang gadis itu.
Dhika terperangah. Permintaan itu terasa janggal. Gimana mungkin mempertemukan orang yang masih hidup dengan orang yang sudah nggak ada di dunia ini? Astri hanya mengada-ada.
Dan itu menjadi beban batinnya. Ternyata, menyadarkan seseorang yang terbelenggu cinta tak semudah yang dibayangkannya. Sayang dia keburu terbius oleh gadis itu. Sejak perkenalan pertama beberapa tahun silam, sebelum Astri akhirnya menjadi milik Kevin. Kalaupun saat itu dia memutuskan untuk mundur, itu semata karena Dhika yakin Kevin dapat membahagiakan gadis yang sedikit manja itu.
Perkiraannya tidak meleset. Semuanya berlangsung baik-baik saja. Sampai tiba-tiba kabar buruk itu diterima: Kevin meninggal akibat kecelakaan mobil.


***

Astri menggenggam sebuah boneka beruang kecil di tangannya. Hadiah dari Kevin di hari jadi mereka pacaran.
"Aku bakal ngasih kamu boneka beruang ini di setiap tahun hari jadi kita. Sampe meja belajar kamu penuh! Sebab aku ingin kita selalu bersama," kata Kevin suatu saat.
Astri mengenang hal itu dengan pahit. Hari ini seharusnya hari jadi mereka yang kedua, kalo Kevin masih hidup tentunya. Betapa Astri kangen dengan senyum, tawa, perhatian, bahkan omelan cowok itu saat dirinya lupa sarapan pagi. Sudah setahun pula Astri terus menyalahkan dirinya atas kecelakaan yang menimpa Kevin. Andai saat itu dia nggak mengganggu konsentrasi Kevin menyetir dengan mengajaknya ngobrol. Andai dinner itu tak pernah ada. Ah, andai....
Sebuah ketukan di pintu membangunkan lamunannya.
"Astri, ada temanmu yang datang. Kalo nggak salah namanya Dhika."
"Eh... iya, Ma." Astri buru-buru menyusut airmatanya.
Ngapain lagi Dhika kemari? Bukannya dia sudah bilang nggak usah mampir?
Di ruang tamu, Astri melihat cowok itu sedang duduk terpekur menatap lantai. Wajahnya langsung sumringah begitu melihat dirinya.
"Hai!" sapa Dhika spontan. Astri Cuma bisa diam mematung di ujung meja. Dhika kelihatan begitu lembut malam ini, dan dia begitu tampan dengan kemeja putihnya itu.
"Malam minggu nggak keluar?" tanya cowok itu lagi.
Astri menggeleng. "Mana ada yang pengen ngajak cewek kuper lagi berantakan kayak aku kencan di malam Minggu."
"Kamu serius? Aku mau!"
Astri tersenyum simpul. Cowok di hadapannya ini, tak putus-putusnya menghibur dirinya sejak kepergian Kevin. Astri tidak buta. Dia sadar perhatian Dhika selama ini.
"Tapi kamu belum mengabulkan permintaanku. Kamu belum mempertemukan aku dengan Kevin," Astri mengingatkan.
"Astri... kamu tahu sendiri kan hal itu nggak mungkin," sahut Dhika.
"Terserah."
"Sampe kapan kamu mau terus mengurung diri, As? Aku yakin Kevin juga nggak suka ngeliat kamu kayak gini," suara Dhika terdengar lembut tapi tegas.
"Kalo nggak suka, kamu boleh kok nggak peduli," jawab Astri dingin.
"Aku peduli, karena aku sayang sama kamu!" jawab Dhika gemas.
"Maafin aku, Dhika. Tapi Kevin tetap hidup di hatiku," jawab Astri setengah terbata.  Kevin, kamu di mana? Berilah aku suatu pertanda kalo kamu juga nggak pernah  ngelupain aku, bisiknya.
"Jangan berburuk sangka dulu. Aku nggak pernah minta kamu ngelupain Kevin, As.  Aku cuma pengen kamu membuka diri bagi orang-orang di sekitarmu. Kan kamu  sendiri yang bilang, kita harus menghargai waktu yang ada bersama orang-orang yang  kita sayangi. Dan aku menghargai waktu yang aku punya bersama kamu!"
Astri terpana mendengar ucapan Dhika. Ada rasa haru menyeruak di hatinya.
"Aku suka sama kamu sejak dulu, As. Sejak kita pertama kali kenalan. Aku pengen  kamu kembali ceria kayak dulu lagi," pinta Dhika sambil tersenyum manis.
"Thanks, Dhika. Tapi aku...."
Dhika mengeluarkan sesuatu yang disembunyikannya sejak tadi. Astaga! Sebuah boneka beruang kecil. Antara percaya dan tidak percaya, Astri menatap takjub saat tangan Dhika terulur padanya.
"Tadi sebelum ke sini, aku melihat boneka ini. Lalu aku berpikir untuk membelikannya untukmu karena setahuku kamu suka pernak-pernik beruang. Sebuah awal yang bagus bukan? Jadi di kamarmu nggak melulu koleksi barang dari Kevin." Lagi-lagi senyum tulus mengembang di wajah cowok itu.
Astri menerimanya dengan hati berdebar.


***

Angin malam menerpa ketika Astri membuka jendela kamarnya. Poninya tersibak. Antara suka dan lara bergayut di hatinya. Astri memandang boneka beruang kecil pemberian Dhika di tangannya, lalu menatap ke atas, menembus kelamnya langit di malam hari.
Astri tersenyum tipis. Dipejamkannya mata. Alangkah terasa kehadiran Kevin di sisinya. Entah kenapa kedamaian tiba-tiba menyelimutinya.
"Kevin," gumamnya lirih, "Aku nggak akan pernah melupakanmu meskipun kini sudah menerima uluran tangan Dhika untuk mengisi kekosongan hati ini, yang akan menemaniku melangkah di lembaran baru. Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan di tempatmu yang sekarang."
Angin kembali berdesir. Astri membiarkan jendelanya tetap terbuka.
Sementara dari atas sana, betapa seseorang yang berpakaian seputih kapas itu tersenyum dan tampak melambai hangat kepadanya dari atas sana. Kevin....

Read More......

Cerpen: Rectoverso

Rectoverso
oleh: Dee

Sinopsis:

Dewi Lestari, yang bernama pena Dee, kali ini hadir dengan mahakarya unik dan pertama di Indonesia "Rectoverso" merupakan hibrida dari fiksi dan musik yang bisa dinikmati secara terpisah maupun bersama-sama. Keduanya saling melengkapi bagaikan dua imaji yang seolah berdiri sendiri tetapi sesungguhnya merupakan satu kesatuan. Inilah cermin dari dua dunia Dewi Lestari yang ia ekspresikan dalam nafas kreativitas tunggal bertajuk "Rectoverso".

Lalu apa arti dari Rectoverso yang menjadi judul album sekaligus buku ini? Dee menjelaskan kata tersebut diambil dari bahasa latin yang artinya dua figur yang saling bercermin. Dengan cara bertutur yang puitis namun sederhana, menikmati Rectoverso seolah membaca kisah hidup kita sendiri, dan membuka jiwa, saat kita mulai membaca fiksinya, dan diakhiri dengan mendengar lagunya.

Buku ini berisi 11 kisah dan 11 lagu sebuah kombinasi angka yang cantik. Kesebelas cerpen dan lagu ini sengaja dibuat dengan judul yang sama. Dengar fiksinya.., Baca musiknya..



Read More......

Cerpen: Setelah Dua Puluh Tahun

Setelah Dua Puluh Tahun
oleh: Fiya Hentihu

Aku adalah anak tunggal di rumah. Bukan karena Bunda tak bisa punya anak lagi, tapi karena ayahku meninggal dua puluh tahun yang lalu. Saat itu umurku baru tiga tahun. Ayah seorang penerbang Angkatan Udara. Beliau terbang ke seluruh pelosok wilayah Indonesia dan sangat mencintai pekerjaannya. Terakhir kali Ayah terbang ke Papua dan itu memang penerbangannya yang terakhir. Dua minggu kemudian, dua perwira Angkatan Udara datang ke rumah dan mengatakan pesawat Ayah hilang. Sudah berhari-hari pegunungan Papua diteliti jengkal demi jengkal tempat diperkirakan jatuhnya pesawat. Tapi tak secuil pun ditemukan bangkai pesawat Ayah. Akhirnya oleh Angkatan Udara dinyatakan, Ayah dan dua rekannya meninggal meskipun tanpa makam.

Tak banyak yang aku ingat dari sosok ayahku. Yang kuingat hanya badannya yang tegap dengan seragam putih-putihnya. Bahkan suaranyapun aku sudah tak ingat lagi. Maklum waktu Ayah meninggal aku baru berumur tiga tahun. Setelah itu kehidupan kami berdua, aku dan Bunda, terus berjalan tanpa kehadiran seorang Ayah baru. Dan bayangannya semakin terbenam dalam pikiranku.

Sejak kecil aku paling senang dengan alam. Laut dan pegunungan tempat favoritku setelah kamar tidurku. Aku tahan berjam-jam berenang di laut di tengah ombak yang bergulung-gulung atau mendaki gunung sendirian, berarung jeram atau hanya sekedar jalan-jalan pagi yang tak pernah aku lewatkan kecuali kalau lagi kurang enak badan. Semuanya menyenangkan. Tapi Bunda selalu menghawatirkanku. Maklumlah karena memang hanya akulah satu-satunya harta yang paling berharga yang masih dia miliki. Tapi beliau selalu mengalah dan memahami hobiku yang menurutnya sangat berbahaya.

Beberapa bulan sebelum liburan, seorang kakak temanku menawarkan untuk mendaki gunung di Papua tepat saat liburan semester. Tidak terlalu tinggi tapi memang benar-benar masih perawan dengan hutan yang rapat dan jurang jurang.

Hampir tiap akhir pekan, aku dan teman-teman pergi ke gunung, menyusuri goa untuk pemanasan. Tapi untuk pergi kali ini aku merasa takut tanpa ijin bunda. Dan memang betul, dia tersentak kaget mendengar permintaanku.

“Yang berangkat sudah berpengalaman semua, Bunda,” kataku

“Tapi kamu kan belum tahu hutan Papua itu seperti apa Dani!” katanya.

Lalu disusul dengan kalimat kalimat lain yang serupa. Banyak yang hilanglah, tak sedikit yang matilah, tersesatlah, inilah, itulah. Aku tak mengomentarinya. Walau seperti yang sudah sudah, jadi juga aku pergi. Bunda mempercayaiku dan selama ini aku tak pernah membuatnya kecewa dan kesusahan dengan kegemaranku pada alam.

“Jangan lupa bawa hape kamu biar bisa tetap komunikasi dengan Bunda,” ceracaunya cemas.

“Ya… Bunda. Di sana mana ada sinyal? Kan hutan belantara.”

“Bunda nggak perduli. Pokoknya bawa! Atau kamu tak jadi berangkat!” ancamnya.

“Iya… iya.” Dengan terpaksa aku menuruti apa kata Bunda, meskipun aku tahu barang ini tak bakalan ada fungsinya di sana. ‘Yaa… sekedar menyenangkan hati Mama,’ batinku

Sebulan kemudian, aku dengan ketujuh orang lainnya, berangkat ke Papua. Kami menginap semalam di kampung terdekat titik awal pendakian. Kampung ini sangat kecil dan di ujung kampung menganga sebuah hutan yang lebat. Keesokan harinya kami memulai pendakian. Setengah jam mulai berjalan di dalam hutan, tumbuhannya semakin rapat. Jalan setapak tak kelihatan lagi. Dan inilah saatnya untuk kami membuka jalan baru. Medan sangat berat, tapi cuaca sangat bagus, tak ada hujan, peralatan serta bahan makan masih lengkap. Kami siap fisik dan mental. Tak ada sedikit pun perasaan cemas menggerayangi selama perjalanan ini.

Ketika hari mulai gelap, kami berhenti berjalan dan mulai membangun bivak. Kemiringan dataran lumayan besar. Tak ada tanah yang cukup datar untuk mendirikan tenda.

Malamnya aku susah sekali tidur padahal aku kecapekan. Selain Bisri dan Slamet yang sedang main kartu remi, yang lain sudah pada tidur pulas di kantong masing-masing. Alam di sekitar kami sunyi senyap. Suara binatang hutan bersahut sahutan di tengah kegelapan malam. Aku keluar dari kantongku, duduk dan mencabut rokok.

“Belum tidur, Dan?” Bisri menyapaku.

Aku menggeleng. “Nggak tahu kenapa, susah banget mau tidur.”

Kusulut rokok. “Sepi betul!” ujarku kemudian

Bisri tertawa. “Namanya juga hutan belantara, kalau rame ya pasar. Ikutan main yuk!” ajaknya.

Aku diam saja dan menggeleng. Lagi tak berselera dan duduk sedikit menjauh. Kunikmati sunyinya malam. Hanya terdengar desiran angin dan beberapa suara hewan malam. Langit begitu cerah dan terlihat bulan bersinar dengan terangnya. Beberapa saat kemudian aku tersentak kaget dengan suara keras yang menembus sunyinya malam.

Gubraaaakkk! Suara benda jatuh

Kupandangi Bisri dan Slamet.

“Suara apaan tuh?”

“Nggak tahu ya,” jawab Slamet.

“Sepertinya ada yang jatuh.”

Bisri mengibaskan tangannya tanda tak perduli.

“Ah paling anak kera jatuh dari pohon.”

Aku meraih senter dan berdiri. Slamet memanggilku, “Mau kemana Dan?”

“Mau cari anak kera.” Aku berjalan menjauhi bivak.

“Hey, Dani! Jangan jauh-jauh, belum ada jalan. Ntar nyasar loh!” suara Bisri mengiringiku.

Aku menyenter kesana kemari, terus berjalan. Sinarnya bermain di antara semak dan pepohonan. Ada beberapa binatang malam lari ketakutan karenanya. Langkahku semakin bertambah jauh. Anak kera yang kucari tak kutemukan juga. Mungkin sudah kabur dengan suara langkahku. Udara tambah semakin dingin. Aku memutuskan untuk kembali. Tapi, dari arah mana aku datang sudah tak kelihatan. Semuanya gelap sama sekali. Cahaya api unggun teman teman tak terlihat. Sudah semakin jauhkah aku berjalan? Aku berusaha untuk kembali berdasarkan naluriku. Belok sini, belok sana, lalu kesini. Tapi tak kutemukan juga bivak teman teman.

Aku berjalan dan terus berjalan. Tak kurasakan nyeri di tanganku tergores oleh duri dan semak semak. Tapi tetap saja tak kutemukan teman temanku. Aku mulai cemas setelah berjam jam aku berjalan. Akhirnya aku tertunduk lemas. Barulah aku sadar, sesuatu telah menimpaku. Aku tersesat di tengah dahsyatnya hutan Papua.

Keesokan harinya, saat matahari pagi muncul, aku terbangun dari tidurku yang bersandar batu. Kutenangkan diri dulu untuk berpikir langkah selanjutnya. Kemudian aku mencari pohon yang paling tinggi. Aku naik sampai puncak dan meneliti segala arah. Sedikitpun tak ada tempat yang aku kenali. Semua sama, daun daun, pepohonan dan pepohonan, semua hijau.

Aku harus ketemu dengan teman teman. Aku tak boleh menyerah hanya menunggu nasib di sini berharap segera teman teman menemukanku. Kukumpulkan semua semangatku untuk berjalan. Menerobos semak belukar. Menajamkan mata serta telinga. Tapi sampai hari gelap pun tak kutemukan juga teman temanku. Perut laparnya bukan main. Permen yang kubawa di kantongku sudah habis. Aku mulai mencari daun daun yang bisa kumakan untuk mengganjal perut. Aku sudah tak ingat senterku di mana. Mungkin terjatuh dan baterainyapun sudah habis.

Aku sudah capek berjalan. Ada sedikit tempat untuk aku bisa berbaring. Bulan diatas bersinar dengan terangnya. Ini bulan yang sama yang dilihat oleh kawan kawanku. Mereka pasti sudah mencariku. Saat seperti ini aku teringat Bunda. Bunda yang mengingatkanku sebelum berangkat dengan segala kecemasannya. Apakah aku bisa melihatnya lagi? Ah, aku yakin kawan kawan akan menemukanku. Bisri dan Slamet tahu ke arah mana aku pergi. Aku tak boleh menyerah. Pasti mereka akan menemukanku.

Tapi kenyataannya sudah tiga hari aku tetap tak menemukan tanda tanda kehidupan. Semangatku menipis drastis. Aku ingin menangis tapi kutahan. Lapar dan haus menerjang. Embun dan daun daunan tak dapat lagi mengatasinya. Aku tetap terus berjalan dan berjalan berharap segera menemukan sesuatu. Aku tak kuat lagi berjalan lebih dari sepuluh langkah. Langkah ke sebelas, aku berhenti dan duduk. Berjalan tiga langkah, berhenti lagi, berjalan lagi, berhenti, duduk, berjalan lagi, begitu terus.

Pada malam keempat, aku terperosok ke jurang yang tak begitu dalam. Badanku meluncur ke bawah. Tubuhku terhempas di semak semak dan aku merasakan sakit yang luar biasa di lengan kiriku. Terkilir atau patah aku tak tahu. Aku terbaring di dasar jurang menatap langit. Bulan bersinar dengan terangnya karena bulan purnama. Tapi di dasar jurang ini sangatlah gelap. Sebenarnya jurang ini tidak terlalu dalam. Seandainya tanganku tak sakit dengan sangat mudah aku dapat menaikinya. Tapi sekarang aku hanya bisa pasrah apapun yang terjadi. Seandainya aku harus mati di sini…

Dalam hati aku berucap doa, teringat akan Bunda dan merangkai semua kenangan indah tentang dirinya. Kalau seandainya aku mati di sini, apakah ada orang yang menemukan mayatku? Bagaimana kalau tidak? Akhirnya aku menangis sejadi jadinya. Segala macam kekalutan memenuhi benakku. Kemudian aku melemparkan pandangan ke bibir jurang.

Darahku tersirap!

Ada yang bergerak di bibir jurang. Apakah itu? Gerakan semak-semak yang semakin keras. Hewan ataukah manusia? Ataukah digerakkan oleh angin? Aku tak peduli, yang penting aku menemukan tanda tanda adanya kehidupan.

“Bisri… Slamet…” teriakku dengan sekuat tenaga.

“Aku terperosok ke jurang… Bisri…. Slamet… Mas Luki…” Aku terus menjerit.

Tiba tiba ada sesosok bayangan muncul di bibir jurang. Dengan cekatan merambat, menuruni jurang dan tiba di dasar. Dia berjalan ke arahku. Tubuhnya tegap. Bayangan sinar rembulan samar menerangi wajahnya. Orang ini bukan salah satu dari temanku, tapi siapa? Aku tak mengenalnya sama sekali.

“Maaf, anda siapa Pak?” tanyaku

Dia tak menjawab. Aku tak peduli. Aku sangat lega bertemu orang lain.

“Saya tersesat sudah empat hari. Kawan-kawan saya ada tujuh orang.”

Aku mencoba untuk duduk dan mengaduh ketika tanganku terasa sakit. Orang itu membuka slayernya dan membebat tangan kiriku. Aku merasa lebih baik walaupun tubuhku lemah sekali.

Dia membiarkanku duduk sejenak, kemudian digendongnya aku naik merambati jurang. Kami tiba di bibir jurang. Aku merasa lega sekali. Kemudian kami berjalan tanpa istirahat. Dia tak membawa senter tapi sinar bulan purnama sangat membantu kami. Tangannya yang kuat terus memapahku. Aku tak ingat, berapa kali aku pingsan. Kami terus berjalan dan tanpa berhenti, tanpa bicara sepatah kata pun.

Akhirnya setelah berjam-jam berjalan, aku melihat ada tanda tanda kehidupan. Aku melihat sinar. Ketika semakin dekat, aku beru sadar kalau itu adalah kampung terdekat dulu ketika aku dan teman temanku bermalam. Kampung? Air mataku meleleh. Tubuhku menjadi sangat lemas. Aku tak kuat lagi dan perlahan lahan merosot dari rangkulannya. Samar kurasakan jari jarinya yang dingin. Setelah itu aku tak ingat lagi dan pingsan.

***

Aku selamat. Tersesat setelah empat hari empat malam dan dapat kembali dengan selamat merupakan suatu keajaiban yang luar biasa. Ini hutan yang belum pernah dijamah manusia, bukan gunung tempat biasa anak muda camping. Teman-temanku sudah mengira aku mati. Mereka berusaha mencariku akhirnya menyerah tak berdaya melawan kedahsyatan alam. Dan pada malam keempat aku ditemukan tergeletak di ujung kampung.

“Aku nggak tahu Dani, apa memang kamu belum waktunya mati, di hutan lagi, atau karena ketajaman nalurimu sampai kamu bisa kembali ke sini. Kamu memang luar biasa, kamu pendaki sejati!” kata Mas Luki sambil mengacungkan jempolnya.

Aku menatapnya heran.

“Apa?” tanyaku. “Aku nggak sendirian. Siapa orang kampung yang menolongku?”

Gantian teman temanku menatap heran. Kuceritakan semua sampai aku bisa kembali ke kampung. Mereka menatapku tak percaya. Kutanya lagi siapa orang kampung yang menolongku, tapi mereka malang menganggapku bermimpi.

“Dan, kampung ini kecil sekali. Lima belas orang dari kampung ini membantu kami untuk mencari kamu dan tak satu orang pun menemukanmu. Apalagi membopongmu sampai kemari,” Mas Luki menjelaskan.

“Kamu tahu nggak, kita nggak ada yang berani mencari kami di atas jam enam sore. Karena di sini jam enam sore sudah gelap sekali. Jangan jangan malah dari kami ada yang tersesat lagi,” sambung Slamet.

Sungguh sangat tak bisa kupercaya. Aku teringat sesuatu. Ya, slayer yang digunakan orang itu untuk membebat lengan kiriku. Kutunjukkan slayer itu pada Mas Luki. Ketika aku melihat slayer itu, aku terkejut setengah mati. Darahku tersirap. Yang membungkus lenganku adalah slayer Angkatan Udara dan tertulis nama “Wiryawan Suratmadji”, nama almarhum ayahku.

Papaku meninggal dua puluh tahun yang lalu. Pesawatnya jatuh di Papua dan tak pernah ditemukan. Sungguh sangat susah dinalar tapi orang yang mengambilku dari jurang dan melintasi kampung adalah ayahku. Aku tak percaya tapi mau tak mau aku harus percaya karena aku mengalaminya sendiri. Ternyata setelah dua puluh tahun aku melihat ayahku kembali. Seminggu kemudian, hutan tempat aku tersesat diteliti kembali oleh Angkatan Udara. Tak berselang lama ditemukan bangkai pesawat Angkatan Udara yang hilang, letaknya tak jauh dari jurang tempat aku terperosok. Di dalam pesawat ditemukan tiga kerangka dan tengkorak manusia. Ayah dan kedua rekannya.

Read More......

Novel: Dexter, Si Charming Pembunuh Berantai

Dexter
Si Charming Pembunuh Berantai
oleh: Jeff Lindsay

Sinopsis:

Dexter Morgan, detektif spesialisasi percikan darah di Kepolisian Miami, adalah seorang pria tampan, charming, dan karismatik. Tipe pria idaman setiap wanita. Namun, tidak ada yang tahu bahwa di balik semua itu ternyata ia adalah seorang pembunuh berantai. Tapi, Dexter punya aturan: ia hanya membunuh orang-orang yang memang pantas untuk mati. Selama melakukan pembunuhan, Dexter dikendalikan oleh alter ego-nya yang bernama Dark Passenger.

Di seri ini Dexter dihadapkan pada tiga kasus pembunuhan. Korbannya adalah para pelacur yang dihabisi dengan cara yang sama: tubuh dimutilasi dengan rapi layaknya karya seorang maestro (tanpa percikan darah setetes pun!), lalu dimasukkan ke kantong plastik sampah. Pola pembunuhan ini sangat mirip dengan pola pembunuhannya sendiri: rapi dan tanpa percikan darah.

Bersama saudara tirinya, Deborah, yang juga seorang polisi, Dexter berusaha mencari tahu pelaku sebenarnya—seorang maestro pembunuh yang bisa meniru polanya—sebelum korban-korban lain kembali berjatuhan. Atau, jangan-jangan Dark Passenger sendiri pelakunya?

Dengan alur cerita yang menarik tanpa cacat, kita akan dibuat penasaran untuk membaca sampai selesai. Bahkan kita tidak bisa menerka-nerka ke mana ceritanya akan dibawa. Jeff Lindsay masih menyuguhkan seri Dexter lainnya. Tentunya dengan kasus-kasus yang harus kita pecahkan bersama Dexter.



Read More......

Cerpen: Kejutan yang Benar-Benar Menyakitkan

Kejutan yang Benar-Benar Menyakitkan
oleh: Desy Salfana

"San, tungguin dong...!" teriakku sampai terengah-engah mengejar Sandy. "Duuh lelet banget sih. Ayo cepat..," ucapnya kesal. Sudah dua tahun ini aku mengenalnya, sosok cowok yang misterius bertubuh cungkring. Gayanya sok cuek, gak peduli orang lain. Cowok yang mencintaiku, tapi hanya kuanggap sebagai seorang sahabat.

Meski dua tahun bersahabat sama dia, aku merasa belum mengerti dia, lebih-lebih setahun terakhir ini. Ada sesuatu yang disembunyikan dari aku. Dia lebih tertutup kepadaku. Padahal, dulu dia sering curhat tentang apa saja kepadaku. "San, kamu lagi menyembunyikan sesuatu dari aku ya...? Kok kamu beda. Nggak seperti dulu lagi. Ada apa sih San?" tanyaku menyelidik. "Ah kamu nih Lin, ada-ada aja. Memang apa yang harus disembunyikan. Gak ada kok, paling-paling yang beda aku jadi lebih cakep he..he..he..," guraunya sekenanya.

Jujur, aku nggak puas dengan jawaban Sandy. Ingin kukorek jawaban lainnya, tapi kuurungkan setelah kulihat wajahnya yang lesu dan terlihat nggak semangat hari ini. Aku tidak ingin membuatnya tambah bete.

Suatu malam di jalan, sepulang dari toko buku, tiba-tiba mataku tertuju pada sosok cowok berkaus merah. Badannya kurus. Penampilannya acak-acakan. Dia tak lain adalah Sandy. Aneh, tadi kuajak beli buku katanya sakit eh kok malah nongkrong sama anak-anak jalanan. Belum juga aku memanggilnya, dia beranjak dari tempatnya.

"Ayo... mana bagianku..," sayup-sayup kudengar suaranya. Kudekati dia dan astaghfirullah. Apa yang kulihat sungguh di luar dugaanku.

"San, apa-apaan ini?" teriakku sambil terisak.

"Kenapa San, kenapa? Kenapa?" berulang-ulang aku membentaknya.

"Sudahlah Lin, sudah... nggak perlu kamu sok ngurusi aku, sok peduliin aku. Aku tidak perlu perhatianmu, pulang sana."

Badanku terasa hangat oleh sinar mentari yang menerobos masuk kamar kosku. Aku terbangun, termenung memikirkan kejadian semalam. Aku tidak habis pikir, kejadian semalam bukanlah mimpi, tapi kenyataan, kenyataan yang pahit.

"Assalamualaikum...," suara salam dari balik pintu membuyarkan pikiranku.

"Waalaikumsalam. Kamu San, masuk," kataku sambil menyodorkan kursi untuknya.

"Lin, maafin aku ya Lin, selama ini aku bohong sama kamu. Aku pemakai Lin. Apa yang kamu lihat kemarin memang nyata. Aku tahu kamu kecewa, kamu benci sama aku," katanya lirih.

"Iya... tapi kenapa? Kenapa kamu lakukan San? Kamu harus akhiri ini semua," ucapku sambil terisak.

"Maaf Lin, aku sudah lama make Lin, jauh sebelum aku mengenalmu. Aku salah bergaul, tapi beberapa bulan terakhir ini aku sudah mulai berhenti. Aku sudah menguranginya Lin. Maafkan aku Lin, aku janji demi kamu aku akan berhenti. Hari ini, aku juga ingin pamit sama kamu. Aku akan pergi beberapa minggu ke luar kota ada urusan pekerjaan," pamitnya kepadaku.

***

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tak terasa dua bulan berlalu, tiada kabar dari Sandy. Tiba-tiba telepon berdering.

"Assalamualaikum. Lin, aku akan pulang hari ini. Datang ke rumah sore ini ya, akan ada kejutan untukmu," suara Sandy dari seberang sana. Hatiku serasa diguyur air segar di tengah padang pasir, senang sekali menerima telepon darinya.

Aku berdandan secantik-cantiknya sore ini, lalu segera berangkat ke rumah Sandy. Aku nggak mau telat. Aku ingin saat dia pulang aku sudah ada di rumahnya. Aku juga akan memberinya kejutan bahwa aku sangat mencintainya lebih dari seorang sahabat, bahwa kini aku menerima cintanya.

Sore yang kunanti telah tiba, baru beberapa langkah aku menuju halaman rumahnya. Tiba-tiba langkahku terhenti ... kenapa banyak kursi berjejer di depan rumah Sandy, ada bendera kuning terpasang didepan rumah. Bergegas aku masuk rumah.

"Dia telah pergi Nak Lina. Saat perjalanan ke rumah, taksi yang dia tumpangi tertabrak kereta," ucap tante Ayu terisak sambil memelukku.

Aku lemas tak bisa berkata apa-apa, lalu semua gelap. Inikah kejutan darimu San? Kejutan yang benar-benar menyakitkan.

Read More......

TeenLit: Aerial

Aerial
oleh: Sitta Karina

Sinopsis:

"Kamu familiar. Bau darahmu familiar."
"Aku sama sekali tidak mengenalmu."
"Kamu tahu siapa aku, Putri."


Sadira si Putri Matahari dan Hassya sang Pangeran Kegelapan merupakan musuh bebuyutan dari dua negeri yang saling bertolak belakang; yang satu menjadikan matahari sebagai sumber hidupnya, satu lagi akan terbakar apabila terpapar langsung oleh sinarnya. Awalnya Sadira berpikir klan Kegelapan adalah sekumpulan monster sampai tanpa sengaja ia diselamatkan oleh Hassya yang berkulit pucat, tampan, dingin, seenaknya sendiri, namun memiliki sorot mata yang jujur.

Menurut ramalan kuno, apabila mereka bersatu maka kedua bangsa tersebut akan menghadapi kehancuran. Namun Hassya bertekad akan melawan apa pun yang menghalangi mereka dan menjadi pelindung bagi Sadira.

Untuk mencegah kehancuran tersebut, Antya, adik Sadira, dan Linc, si kuda terbang putih, berusaha memanggil penolong dari dunia lain---Laskar dan Sashika, pelajar SMU Surya Ilmu---dunia yang hutannya tidak seindah di negeri mereka serta dipenuhi bangunan pencakar langit.

Dunia yang akan mendukung cinta Sadira dan Hassya sepenuhnya.

"Reading this novel, I keep on trying to visualize every detail from Sitta's great imagination..."
Anita Moran, Editor-in-Chief and Creative Director of Gogirl! magazine

"Sitta Karina adalah penulis novel remaja yang berjiwa sastra...."
Kristy M. Baskoro, penikmat novel Sitta Karina jarak jauh, pelajar di Uniworld High School , Sydney



Read More......

Cerpen: En, Apa Kau Memaafkanku?

En, Apa Kau Memaafkanku?
oleh: Abd. Qodir al-Amin

Hari ini terasa begitu melelahkan. Setumpuk buku masih berserakan di atas meja. Berlembar-lembar makalah yang berjejal di meja komputer membuatku amnesia. Satu minggu lagi desertasiku harus selesai. Aku benar-benar dikejar waktu. Entahlah, untuk hari ini saja, aku benar-benar ingin istirahat. Sejenak melepas ratusan tesis yang memusingkan. Kutatap barisan rak buku yang membuat kamarku terasa sempit. Tiba-tiba saja mataku tertuju pada rak di pojok ruangan. Rak itu tempat khusus untuk menyimpan file-file pribadiku. Ah… sudah lama tak kujamah rak itu. Sebuah buku bersampul biru muda menarik perhatianku. “Kumpulan Manuskrip Biru”.

Ya, lebih baik kubaca manuskrip ini saja. Mungkin dengan berkelana di masa silam, penat di kepalaku dapat berkurang. Aku berharap akan menemukan sesuatu yang lucu di sana, atau kenangan-kenangan yang mampu membuatku bersemangat lagi, setidaknya, aku dapat terhibur dengan mengarungi masa lalu.

Amboi, betapa kenangan benar-benar hantu yang tak mampu kubunuh. Ia seperti orang tua yang mengajariku untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Tak jarang, masa lalu seperti Ayahku yang menghukumku karena berbuat kesalahan, ada kalanya membelaiku lembut bak seorang Ibu. Hmm.. mungkin aku berpendapat bahwa masa lalu adalah orang tua ketigaku setelah Ayah-Ibu dan Guruku.

Selembar demi selembar kujelajahi tulisan-tulisan yang mengabadikan kisah-kisahku. Aku mulai serius ketika sampai kepada halaman berjudul “Kotak Pink-ku Sayang”. Sebuah file yang kutulis dan kukirimkan kepada seseorang. Ah, di sini, aku benar-benar tidak menyukai masa lalu. Tiap kali membaca bagian ini, bagian “Kotak Pink-ku Sayang,” serasa masa lalu benar-benar telah memberikan hukuman abadi untukku, hukuman yang tak pernah lepas dari tubuhku. Hukuman yang mungkin akan menyiksaku seumur hidup. En, apa kau memaafkan aku?

Kepada: En

Halo, En! Maaf ya, aku nulis surat buat kamu. Tak apa-apa kan… Halo, En! Aku minta pendapat, gambar ini bagus ya? Aku sudah lama sekali melupakan gambar ini. Gambar boneka panda yang lucu. Iya..ya.. gambar boneka panda, bukan gambar seekor panda, tapi gambar boneka panda. Kamu pasti tahu! Kalau lupa, coba ingat-ingat! Bertahun-tahun yang lalu, gambar ini begitu melekat dalam hidupku. Kamu bisa melihat, kan… wajahnya sendu. Meski tersenyum, gambar ini kelihatan menyembunyikan sesuatu… sesuatu yang begitu sedih. Tersimpan rapat-rapat dalam hati yang sepi…dan sungguh! Tiap kali aku memandang gambar ini, aku selalu ingin berubah menjadi seekor induk panda, Iya…ya… seekor induk panda yang akan menghapus kesedihannya, seekor induk panda yang akan melindunginya dari dingin, atau seekor induk yang akan mengajaknya bermain, bernyanyi dan bergembira.

Ya, bertahun-tahun yang silam, ketika aku masih sering sekali bermain dadu. Mungkin sekarang pun aku masih suka bermain dadu. Kamu tahu, kan… DADU? Itu lho, DADU. Setiap sisi mukanya berbeda. Berbeda angka, berbeda warna dan berbeda gambar… Bentuknya kotak. Ya, kotak. Ah, benar… Aku jadi ingat tentang kotak. Aku menyimpan sebuah kotak. K-O-T-A-K. Nah, aku akan bercerita tentang kotak itu.

Halo, En! Kamu masih membaca suratku, kan? Ya, terima kasih… Beberapa tahun yang lalu, tiba-tiba saja ada sebuah kotak tergeletak di kamarku. Aku tak tahu siapa yang menaruhnya. Tak ada siapa-siapa di kamarku, tak ada yang bisa memasuki kamarku kecuali atas ijinku. Bahkan Ibuku! Ibuku membenci kotak, segala sesuatu yang berbentuk kotak, sesuatu yang mempunyai sudut sembilanpuluh derajat, Ibuku membencinya (tapi aku tidak akan menceritakan padamu sebab atau alasan kenapa Ibuku membenci kotak, ini rahasia keluarga)

Hihihi, kotak itu warnanya pink! Ya, warnanya pink, dan ukurannya lebih besar sembilan kali lipat dari dadu. Aku benar-benar tak tahu siapa yang menaruhnya di kamarku. Mungkin malaikat yang menaruhnya. Tapi kotak itu tidak ada gambarnya. Setiap sisinya berwarna pink-polos. Tidak ada angka dan tidak ada gambar. Pink! Itu saja.

Halo, En! Kamu tahu, apa isi kotak itu? Ah, benar. mana mungkin kamu tahu. Kamu kan sedang membaca ceritaku.

Kotak itu berisi sesuatu yang bisa membuatku begitu bahagia. Membuat hidupku begitu riang. Setiap hari, aku selalu membukanya, kemudian senyum-senyum sendiri. Kotak itu begitu lucu. Aku menyukainya. Ya, aku menyukainya. Aku tak ingin kehilangan kotak itu. Tapi tiba-tiba saja isi kotak itu hilang. Kenapa?

Aku sedih. Sedih sekali. Aku menangis. Menangis sekali. Tidak ada yang mencuri. Dan tidak dicuri. Isi kotaknya hilang. Halo, En! Aku sedang bersedih. Hatiku menjadi sepi… hidup terasa tak indah lagi… isi kotak itu hilang.

Aku membawa kotak itu ke dalam gudang. Aku sadar, isi kotak itu tidak akan kembali. Tinggal kotak semata, tanpa isi, tanpa arti. Kusimpan kotak itu di gudang. Aku tak ingin membuang kotak itu. Tapi aku simpan di dalam gudang, kukunci rapat-rapat. “Blank!” Begitu bunyi pintu gudang itu kubanting. “Blank!” Agar aku tak bersedih. Agar aku tak mengingatnya lagi. Siapa tahu isinya akan ada lagi. Tiba-tiba saja. Aku berharap sekali. Isi kotak itu akan kembali. Kukatakan kepada temanku-temanku. Kotak pink itu sudah aku buang. Sudah aku bakar. Halo, En! Aku membakar kotak pink itu.

Diam-diam, aku selalu memasuki gudang itu. Padahal, aku paling benci dengan gudang, apalagi berada di dalam gudang. Tapi semenjak gudang itu kujadikan tempat penyimpanan kotak pink, aku jadi betah. Diam-diam, aku sering menangis, berhari-hari di dalam gudang. Kalau aku larut dalam tangisan, aku akan membawa kotak itu ke kamar. Di atas kasur. Kupeluk kotak itu, kutangisi hingga aku letih. Buru-buru kumasukkan kotak itu ke gudang lagi. Isinya memang tak mungkin kembali. “Blank!” Begitu bunyi pintu gudang itu kubanting.

***

Aku pulang. Aku punya kotak baru. Aku membawa kotak baru. Warnanya juga pink. Tapi dua sisinya ada yang berwarna putih dan hitam. Selanjutnya, kotak itu yang selalu menemaniku di kamar. Aku menyebutnya kotak tiga warna. Pernah kubawa kotak-kotak yang lain. Tapi segera kubuang. Aku tak suka. Kalau aku ingin menangis, aku menangis kepada kotak tiga warna itu. Kalau aku ingin marah, aku marah kepada kotak baru itu. Kotak itu temanku sekarang. Kotak pink yang ada di gudang, biar saja membusuk. Aku ingin melupakannya. Tapi ternyata sulit… Tetap saja aku sering masuk gudang. Diam-diam dan memperhatikan isi kotak itu. Tapi tetap saja tak ada isinya. Ah, biarkan saja! Aku sudah punya kotak baru. Kotak tiga warna.

Hariku kembali bersemangat. Kulalui penuh cerita. Kotak tiga warna itu sudah menjadi bagian dari hidupku, sebelum akhirnya terjadi goncangan keras. Bumi berputar-putar. Gemuruh ada di sana-sini. Suara-suara panik berhamburan. Kotak baruku hilang. Hah! Hilang? Kotak barunya hilang. Kotak tiga warnaku hilang. Isinya masih tertinggal di kasur. Tapi kotaknya hilang. Apa ada pencuri? Aku merasa sangat kehilangan. Aku tidak ingin menangis. Tapi aku terlanjur menyukainya. Sudah kukatakan kepada teman-temanku. Kotak itu milikku. Kotak itu ada di kamarku. Tapi kenapa hilang? Halo, En! Kotak itu hilang. Apakah Tuhan mencurinya dariku, tahu malaikat yang marah kepadaku karena telah menelantarkan kotak pink pemberiannya. Ah, malaikat itu kekanak-kanakan sekali. Padahal aku sayang sekali dengan kotak tiga warna itu, ia sudah lama sekali menemaniku. Menghias ruang dan hidupku. Menyemangati hariku. Dan kini kotak itu hilang.

Aneh… Kotak pink yang ada di gudang hilang isinya, sedang kotak tiga warna yang ada di kamar hilang kotaknya. Sungguh, benar-benar aneh!

Halo, En! Apa kamu masih mengikuti ceritaku. Aha! Terima kasih. Menurutmu, apa yang akan aku lakukan jika aku mempunyai satu kotak yang tak ada isinya dan satu isi yang tak ada kotaknya? Aha! Kamu salah! Aku tak akan menyatukan keduanya. Aku tidak akan memasukkan isi yang tak ada kotaknya ke dalam kotak yang tak ada isinya. Ya! Kamu salah! Karena itu tak mungkin bisa.

***

Ah, isi kotak tiga warna ini, apa baiknya kusimpan saja di gudang, ya? Sama seperti kotak pink yang ada di sana. Biar saja membusuk bersama usia. TIDAK! Lebih baik kubakar saja, kubuang dan abunya kusebar di Sungai Gangga. Itu solusi yang tepat! Tapi, untuk kotak pink yang ada di gudang, apa baiknya juga kubakar dan kubuang abunya di Sungai Gangga?

TIDAK! Aku menyukai kotak pink itu. Meski aku selalu dibuat sakit karenanya. Tidak! Kotak pink itu tidak akan pernah kubuang.

***

Aneh.. Aku malah ketemu satu kotak lagi. Kotak itu ada di kolong tempat tidurku. Baunya busuk, warnanya hitam semua, dan isinya kotoran. Aku mengambil kotak hitam itu. Ah, apa mungkin Tuhan hendak menggantikan kotak-kotak kesayanganku dengan kotak hitam ini?
“Aduh!” Kotak hitam itu yang akhirnya selalu menemaniku. Ya, sudah!

***

Halo, En! Aku pergi. Ya, aku pergi. Ketika pulang kembali, kotak hitamku dimaling orang. “Nasib!” Sudah lelah-lelah aku mencari cat warna, sudah letih-letih aku membeli parfum, sudah capek-capek aku mencari pembersih kotoran. Ternyata kotak hitamku digarong orang. Halo, En! Aku capek. Sudahlah, aku tak ingin menangis, membenci dan murka. Biar si Garong itu saja yang merawat kotak hitamku.

***

Aku masih punya satu kotak lagi. Kotak pink yang ada di dalam gudang. Halo, En! Kamu masih ingat kan? Aku tak pernah membuang kotak pink itu! Meski sudah tak ada isinya, tapi aku sangat menyukainya. Aku tak ingin menangis lagi, meski isi kotaknya sudah tak ada. Meski isi kotak itu sepertinya tak mungkin ada. Tak mungkin kumiliki. Tapi aku menyayanginya. Sejujurnya, aku ingin kotak pink itu sempurna dengan isinya, menjadi temanku, menghias ruangku, mengisi hidupku. Tapi sepertinya memang tak mungkin. Ya, sudahlah! Biar kusimpan saja di dalam gudang.

Halo, En! Kamu tahu apa isi kotak pink itu? Isi kotak pink yang hilang bertahun-tahun lalu itu? Halo, En! Apa kamu tahu? Apa kamu mengerti? Haloooooooo!!! Isi kotak itu adalah gambar boneka panda, iya… gambar boneka panda yang kamu hadiahkan untukku di malam perayaan ulang tahunku ke duapuluh empat, di bawah gambar itu tertera sebuah nama, nama yang indah sekali. Nama yang begitu melekat di hatiku, di hidupku, bertahun-tahun lamanya. “En Febrian Dewi” Kamu mengerti, kan?!

Terimakasih, En, kamu telah setia mengikuti derasnya tulisan ini!

Semoga kau selalu mengingatku:
Laki-laki bodoh yang selalu mencintaimu,
tapi tak pernah berani mengatakannya.

***

Surat ini mengantarkan orang yang paling aku cintai pergi ke tempat paling sepi. Tempat terjauh yang paling abadi. En meninggal dalam kecelakaan sewaktu hendak menyusulku ke stasiun Lempuyangan. Ya, tepat dua jam setelah kuberikan tulisan ini di halaman kampus dan aku pamit hendak meninggalkan Yogyakarta untuk selamanya. Ah, En. Apa kau memaafkanku?

Read More......

TeenLit: Alex's Wish

Alex's Wish
oleh: Elcy Anastasia

Sinopsis:

Subjek: Federic Sawa alias Eric. Terlahir sebagai pangeran kegelapan, pewaris takhta Kerajaan Setan Malvera. Tertangkap basah melakukan dosa terbesar kaum setan: berbuat baik. Dihukum turun ke bumi. Tugasnya mendapatkan nyawa cewek remaja, tapi harus dengan kesukarelaan cewek itu.

Target: Alexandra Alfarez, lebih sering disapa Alex, 15 tahun. Hobi naik motor sport dan ikut balapan liar. Jengkel dengan hidupnya yang menyebalkan. Nggak punya Papa dan kerjanya ribut terus sama Mama. Di sekolah dia nggak dianggap penting oleh siapa pun, termasuk sama Kian, cowok gebetannya.

Situasi: Alex berhasil dibujuk Eric nandatanganin kontrak kematiannya dengan imbalan tiga permintaan. Tapi ada satu kesalahan kecil yang luput dari perhatian Eric. Satu kesalahan yang mengancam kesuksesan misinya. Kesalahan yang bisa membatalkan kontrak kematian dan membuat Alex mendapatkan kembali hidupnya...



Read More......

Cerpen: Sajak Bisu untuk Cinta

Sajak Bisu untuk Cinta
oleh: Wahyu Nursamhuda

Aku menunggu sejam yang lalu dalam terik suci mentari hingga mengalunnya rintik sunyi hujan di sore itu. Kudengar hingga kunanti kereta senja yang datang di ufuk timur tiba. Aku pun tak tahu siapa dan mengapa diriku berada di sini dalam keheningan siluet senjamu. Dalam ruang-ruang dimensi atau wujud tiada hendaki cinta bernaung dalam gelora asmara di setiap jiwa anak cucu Adam diciptakan.

Genderang hati ini bertabuh dengan simfoni haru pilu, lalu hancurkan puing-puing hati biru kelabu. Wujud dentuman ornamen melirih kian menderu, sendu, dalam tangisan nian syahdu.

Kucoba warnai hari-hariku bagai rona kehidupan cintaku. Mungkinkah asmara dalam raga bersenandung rindu harus malu pada hamparan luas lautan kian menebar emosi dan tetesan embun dalam hati pelangi biru di langit Lazuard.

Menatap indah cakrawala penuh harapan dan cinta di balik Gunung Fujiyama hanya bersama sosok indahmu. Kutorehkan namamu dalam hati bunga Edelwiss, lalu kulukis cantiknya parasmu dalam beribu ratapan sajak-sajak pelangi. Tepercik kata-kata mimpi, bersungging senyum dewi-dewi cinta. ''Akankah kau pergi tinggalkan diriku sendiri sehingga kau nanti kembali dalam ruang dan dimensi yang lain?'' tanyaku.

''Mungkin biarkan cinta bersemi dalam keabadian seiring ilusi waktu,'' sahut Rose seraya menatap pilu. Sontak aku terpana dan bergemuruh dalam ingar-bingar cintamu.

''Jangan engkau biarkan cinta bersemi dalam ilusi waktu,'' pintaku. ''Mengapa?'' sahutnya seraya memegang tanganku dalam indahnya cakrawala sore itu.

''Karena waktu kian sirna terempas dan tersungkur hingga tercabik prahara kenistaan,'' ujarku.

''Lalu harus dengan apa kubuktikan karena kusungguh mencintaimu dan cintaku tak bersayap seakan malaikat malu menatap keabadian cinta kita,'' pinta Rose penuh kebimbangan.

''Biarlah cinta turun bagai setetes embun dari beribu pelangi yang hiasi kehidupan cinta,'' ujarku singkat.

Kuempaskan kata bertakhta retorika itu dalam ruangan dimensi lain hingga waktu kian sirna dan musnah tersungkur luka. Tercabik prahara dusta, lalu tercekam badai durjana yang tak kunjung reda. Angin-angin sunyi mendendangkan ornamen cinta buatku nian pilu.

"Apa kau tahu, mengapa ombak datang menggema mengikis jiwa-jiwa yang hampa dan badai menyeruak luluh lantak, lalu memorak-porandakan raga-raga tak berdosa dalam siluet senjamu," ungkapku masih bimbanng.

Kupilin waktu tuk beranjak diam dalam heningnya malam dan galaunya hati, mengapa Tuhan kini tak kunjung bantu diriku.

Sang waktu terbungkam prahara kenistaan. Kini pujaan tinggal kenangan dan harapan adalah bualan. Kuhapus cinta setahap demi setahap, namun tak berarti. Kepedihan yang kian kurasa seolah kini tersingkir luka lebam tersedu sedan dalam angan. Namun, kini engkau hadir dan berikan puing-puing cinta dalam tutur lembutmu.

Kereta senja menanti tiap hela napasku, bergulir seiring terempasnya pujaan ke dalam retorika ilusi fatamorgana yang kini hanya tinggal kenangan. Sebuah cinta, hanya sebuah nama di hati.. Bulan pelita gundah gelisah di jiwa sehingga kutermanyun mimpi-mimpi dalam ingar-bingar ilusi. Kisah cintaku penuh penantian kata, dalam sorot sinarnya mulai sayup terangi bekunya hati ini. Pesonanya pahit tuk diterjang seakan tercabik sebilah parang yang tajam dan kejam. ''Mungkinkah sedihku kian meratapi dan menggaru biru kelabu?" ungkapku dalam ringkihan kebisuan.

Kereta senja menanti tiap hela napasku, kumeratap malu lalu embuskan ayat-ayat cinta dalam napas terakhirku. Biarlah cinta sejati bersemi di hati, walau mata terbuka dan tertutup, cintaku kian abadi.

"Kuhapus air mata dalam duka, Kupejamkan mata dalam duka, Kuempaskan raga dalam elegi cintamu, dan Kurentangkan jiwa dalam sukma keabadian.. "

Harusnya kutahu, cinta kian turun seiring gemuruh hujan. Sosok dewi cinta menari-nari berdendang alunan simfoni indah sepanjang masa. Cinta tak mengenal perubahan karena perubahan itu merupakan perjanjian. Sayang, cinta tak mengenal perjanjian.

Kuharap kedamaian yang terpancar dari egomu memberikan sekelumit janji yang lebih indah diungkapkan dengan kebisuan. Beribu kata kian menjerit tuk diucapkan atau memang selalu ada hal indah yang terlupakan dan seharusnya lenyap terbakar egomu...(*)

Read More......

Cerpen: Prahara Cinta

Prahara Cinta
oleh: Binu

Hai namaku Sandy. Aku adalah seseorang yang tak peduli dengan perasaan, jatuh cinta atau peduli tentang orang lain. Aku acuh dan ketus. Semua orang hampir sama opininya tentang aku, yaitu aku adalah orang yang sombong. Aku akui diriku memang tak begitu suka dengan puji-pujian maupun sanjungan, aku lebih suka kritikan dan opini tentang aku. Mungkin aku adalah orang yang aneh, tapi jujur aku memang orang yang tak begitu tahu tentang logika orang-orang sekitarku. Mereka seperti tak menganggap diriku ada di sekitar mereka.

Saat itu aku masih berumur 9 tahun, aku terkena penyakit asma. Setiap aku menghirup udara kotor, dadaku terasa sesak dan aliran nafasku seperti tersengal-sengal. Bagi anak seumuranku penyakit asma adalah hal yang tidak wajar. Karena itu dapat mengganggu sistem fisik yang sedang tumbuh dan berkembang. Saat itu aku sedang mengikuti kegiatan ekstra di sekolah, tiba-tiba segerombol anak datang menghampiriku, mereka mengambil alat pernafasanku sambil melempar-lemparkannya ke teman yang satu ke yang lain. Aku berusaha meminta namun gagal, bahkan aku sampai berlari-lari mengejarnya, namun tetap saja gagal bahkan nafasku sulit ku atur sehingga aku terjatuh dan pingsan. Mulai saat itu aku jadi benci dengan orang dan tak mau berkomunikasi dengan orang lain sampai 3 tahun, aku diterapi. Terapi itu sempat memancing suaraku yang selama itu hilang muncul kembali. Namun beberapa bulan kemudian aku kembali mengalami trauma itu sampai pada umurku 14 tahun. Pada waktu umurku 14 tahun, aku diikutkan terapi lagi bagi anak yang sulit bicara. Dari kecil aku seperti tidak mengenal sekolah, karena aku tumbuh tidak normal layaknya anak anak seumuranku. Namun saat aku berumur 12 tahun aku sempat bersekolah di SLB Malang, sampai umurku 14 tahun itu. Aku mulai belajar bicara pada usia 15 tahun dan umur 16 tahun aku baru bisa bicara layaknya anak anak seumuranku. Aku begitu senang namun begitu aku tak banyak berubah seperti sebelum ikut terapi kedua saat itu.

Waktu berganti tahun aku berumur 17 tahun, aku bertemu dengan seorang teman bernama Dean Arga. Dia adalah satu satunya teman yang aku punyai saat itu setelah aku pindah dari SLB dan bersekolah di SMA Negeri 2 Malang. Awal aku bersekolah di sana aku merasa minder namun begitu aku mengenal Dean, aku jadi merasa minderku agak berkurang. Untuk itu aku sering menghabiskan waktu dengannya. Selain itu Dean adalah anak yang pandai nomer 2 di kelasku. Dia sering memberiku motivasi agar aku tidak minder. Dua tahun aku berteman dengan Dean dan kini aku sudah kelas 3, dan dua tahun pula aku bersama dengan yang lainnya. Hingga aku benar benar jatuh cinta dengan Dean. Saat itu Dean memang tidak mengetahui bahwa aku suka dengannya, karena aku tidak mau dia tahu dan pergi meninggalkan aku. Aku hanya memendamnya.

Selang beberapa bulan, Dean mengetahui perubahan sikapku. Aku jadi semakin menjauh. Dia tak terima dengan sikapku, kemudian marah dan pergi meninggalkanku. Saat itu aku hancur dan mencoba meminta maaf namun gagal. Dia tidak mau memaafkanku. Sampai beberapa hari kemudian musibah datang menimpaku. Sebuah mobil sedan hitam menghantamku saat aku berusaha mengejar Dean untuk mencoba meminta maaf. Dia mungkin terkejut karena sebelum aku pingsan aku sempat merasa kalau Dean memikul aku masuk ke dalam mobil sedan yang menabrakku dan mengantarku ke rumah sakit.

Aku tak tahu sudah berapa hari aku dirawat di rumah sakit. Saat itu aku merasa di dimensi lain, aku melihat hamparan tanah yang hijau dan beberapa anak memanggilku untuk bermain. Saat aku melangkahkan kaki, tiba tiba Dean dari belakang menarik lenganku dan mengajakku menjauh dari anak-anak itu. Wajah anak-anak itu menunjukkan kekecewaannya. Namun begitu secercah cahaya menghampiriku dan Dean. Aku tersadar dari komaku.

Aku sempat merasa detak jantungku berhenti, namun setelah itu aku sadar dari komaku. Aku melihat ayah dan bundaku yang masih menungguku di pinggir tempat tidur. Kucoba menoleh ke samping kanan, ada Dean yang memegang tanganku sambil lelap tidur. Entah apa yang aku rasa saat aku melihat dia menemaniku saat itu. Gerakan lemah tanganku membuatnya terbangun dari tidur. Ayah dan bundaku juga ikut terbangun. Mereka semua nampak bahagia melihatku sadar dan siuman. Sewaktu aku menanyakan sejak kapan aku dirawat di rumah sakit, kedua orang tuaku bilang sejak 13 hari yang lalu. Ternyata aku sudah lama tinggal di rumah sakit. Saat aku ingin bangun kaki kiriku terasa lemah dan tak bisa digerakkan, aku mencoba membuka selimut penutupnya dan ternyata kakiku penuh dengan perban. Aku menangis sejadi jadinya. Sedangkan ayah bundaku tidak bisa berbuat apa apa hanya kata sabar yang terucap dari bibir mereka. Aku hancur, putus asa dan hilang semua harapanku. Aku telah cacat.

Beberapa hari kemudian aku sudah diijinkan pulang oleh dokter. Ayah dan bundaku mengiringiku saat Dean medorong kursi rodaku dan membantuku masuk rumah. Saat itu semuanya berubah, akhirnya Dean mengutarakan isi hatinya padaku saat harapan dan impianku sudah musnah. Namun hatiku sudah hancur, aku mengusirnya dari rumah dan melarangnya kembali. Aku benci dia… aku benci dia. Mulai saat itu, aku tak pernah bertemu dengan dia lagi, hampir dua bulan aku tak bertemu, di sekolah pun aku juga tak melihatnya. Dalam hati aku bertanya apa sampai segitunya Dean membenciku. Terakhir aku dengar kabar dia sedang sakit, tapi aku tak tahu dia sakit apa, setahuku selama ini dia hanya punya penyakit pusing. Entah apa yang membuatku merindukannya, sedang dulu aku kecelakaan karena aku hanya ingin meminta maaf dengannya. Namun dia menolaknya, sehingga kini aku cacat. Keinginanku hanya satu menemui orang tua Dean. Sore hari yang mendung aku nekat pergi ke rumah Dean.

Jantungku saat itu terasa berhenti dan urat nadiku terasa terpotong paksa. Ternyata orang yang selama ini dekat denganku yang aku cinta, kini hanya tinggal kenangan saja, hanya tinggal nama, karena orang itu (Dean) kini telah berada di alam yang berbeda, dia telah menghadap Sang Khaliq, karena dia tak kuat menahan rasa sakit di kepalanya akibat kanker otak. Dean meninggal lima hari yang lalu dan aku tak tahu dan keluarganyapun menyembunyikan berita itu. Orang tua Dean hanya memberi tahuku di mana makam Dean dan memberiku sekotak kado besar yang isinya semua barang milik Dean. Di sana tertera namaku dan Dean serta tanggal 21 Nopember 2003. Aku kaget setelah ditambah secarik surat berwarna biru muda ditanganku yang isinya :

Dear : Sandy

Kuharap ini bukanlah akhir aku melihatmu, dan melihat semua waktu yang telah kita lalui bersama. Aku tahu umur bukanlah aku yang mengukur dan waktu yang akan tiba nanti bukan jaga keinginanku. Aku minta maaf sama kamu apabila aku telah membawamu ke duniaku yang hampa, itu dulu saat kamu belum ada di dalam hari-hariku. Namun sekarang engkau akan selalu ada dalam hatiku. Mungkin aku telah salah sama kamu, karena membiarkanmu menjauh dariku, hanya karena kamu tak ingin aku mengetahui perasaan kamu yang sebenarnya. Jujur sejak maupun sebelum kamu menjauhiku, aku sudah merasa yakin bahwa kamu memiliki perasaan padaku. Namun aku pura pura tidak mengetahuinya. Aku malah berbalik menyalahkanmu karena kamu selalu menghindariku. Dengan alasan itulah aku bisa membuatmu sedikit merasa bersalah padaku dan membuatmu selalu dekat denganku. Namun aku tak menyangka, kecelakaan tragis itu membuat kamu kehilangan sebelah kakimu yang normal dan membuatmu membenci diriku lalu mengusirku. Saat itu aku merasa bersalah padamu. Aku malu bertemu denganmu, hingga akhirnya aku menghilang. Sebulan setelah itu, aku sudah merasakan detik-detik terakhir hampir dekat dan aku sengaja menuliskan ini padamu dan membuat foto kita berdua yang ada nama kita berdua lengkap dengan tanggalnya yaitu 21 Nopember 2003. Itu adalah hari saat aku mengungapkan perasaanku padamu dan sekarang aku akan pergi mendahului kamu, aku minta maaf karena mungkin sudah sangat parah kondisiku. Aku mengucapkan terima kasih yang sebesarnya karena dirimu aku punya semangat untuk hidup. Maafkan aku yang telah buat kakimu cedera. MAAF SELAMAT TINGGAL SANDYKU YANG MANIS.

Yang mencintaimu,

DEAN ERGA

Aku tak menyangka ternyata selama ini aku telah salah besar dengan Dean. Ternyata Dean itu baik namun karena penyakitnya tersebut Dean sengaja menjadi anak yang bandel dan egois. Seketika itu air mataku tak dapat terbendung lagi, aku tak kuasa menahan segala rasa. Aku menyesal karena saat aku mengusirnya dulu ternyata saat itu juga aku terakhir melihat Dean dan untuk selamanya. Sesalku tak dapat aku tanggungkan. Aku jatuh sakit dan kondisi tubuhku memburuk. Terpaksa kedua orangtuaku membawaku ke rumah sakit. Pada saat itulah aku jadi tak percaya cinta dan tidakkan jatuh cinta. Karena cinta hidupku sengsara. Sakit rasanya kehilangan orang yang kita cinta. Aku tak inginkan itu lagi, sekarang aku menutup diriku untuk orang lain, aku jadi banyak diam dan menyendiri. Waktu terus berjalan seiring dengan perubahan dalm diriku. Awalnya kedua orang tuaku khawatir, takut kalau kejadian 6 tahun lalu terulang kembali. Beruntung aku menyakinkan ayah bundaku bahwa itu takkan terulang kembali kini, mereka jadi terbiasa. Aku jadi sulit bergaul dan berhubungan dengan masyarakat luar. Sebagian besar waktuku hanya aku habiskan di sekolah dan kamar. Sekarang 90% sikapku kini berubah total, aku jadi lebih banyak menyendiri, jutek, ketus, dan tak ingin tahu orang lain sama orang lain juga tak ingin mengenalku.

Dua tahun kemudian aku masuk kuliah di universitas terkemuka di Jakarta. Satu tahun yang lalu keluargaku pindah ke Jakarta karena tuntutan pekerjaan, kini mereka tinggal bersamaku di sini. Kini aku bisa berkumpul dengan kedua orangtuaku kembali. Aku di universitas tersebut mengambil jurusan kesenian karena menurutku jurusan itu bisa membuatku lebih memahami seni di berbagai kehidupan, termasuk kehidupan masa lampau, sekarang dan yang akan datang. Aku senang kehidupanku sekarang lebih baik dibanding dulu. Aku jadi tak lagi merepotkan semua orang.

Dua tahun kemudian, aku sudah menjadi seseorang yang sukses yaitu aku menjadi seniman terkenal sekaligus menjadi penasehat direktur yang terkemuka di Jakarta. Ini semua berkat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan-Nya kapadaku, dan berkat bimbingan kedua orangtuaku. Aku sekarang tak lagi kekurangan dan hidup terjamin namun hanya satu yang tak kupunyai yaitu……

Dan aku hanya pasrah pada-Nya semoga dia membukakan pintu hatiku yang hampa karena lukaku dulu. Amin.

Read More......

Novel: Pencari Harta Karun


Pencari Harta Karun
oleh: Agnes Jessica

Sinopsis:

Ketika seseorang dihadapkan pada keputusasaan, di batas terakhir ia akan menyerah. Demikian pula dengan Jamal, pemuda sederhana yang mendambakan cinta. Namun, di saat ia hampir menyerah dan mengakhiri hidup, seseorang memberitahukannya sebuah rahasia untuk mendapatkan harta karun.

Dengan rahasia itu Jamal berusaha menaklukkan kesengsaraan hidup yang selalu membayangi nasib keluarganya. Ia menemukan kekayaan dan kesuksesan yang diimpikannya selama ini. Rahasia itu juga membawanya menemukan cinta yang selama ini dicarinya. Dan di dalam perjalanannya, ia menemukan harta karun terbesar, lebih dari apa yang didambanya selama ini.



Read More......

TeenLit: Brondong Lover

Brondong Lover
oleh: Stephanie Zen

Sinopsis:

Nasha sebel banget sama juniornya yang nyolot, Dave. Sejak hari pertama MOS, Dave kerjanya terus membantah apa pun kata Nasha dan ogah untuk bekerja sama dalam kegiatan kelasnya. Tapi, pas Nasha berantem sama mantannya yang supernyebelin, Kevin, si nyolot Dave ternyata membelanya! Begitu pula pas Nasha terjatuh hingga terkilir di kemping penutupan MOS, Dave ngebela-belain menggendong Nasha sampai tenda. U-ui... apakah ada cinta yang mulai bersemi di hati Nasha? Bagaimana dengan hubungannya yang belum beres sama Kevin? Dan bagaimana juga dengan perhatian berlebih dari Kak Elang yang sudah kuliah?


Read More......

Cerpen: Mungkin Berakhir Indah

Mungkin Berakhir Indah
oleh: Meimei

Semenjak lulus SMA, saat itu usiaku delapan belas tahun, sikapku semakin tidak karuan. Apalagi ketika aku melanjutkan di bangku kuliah, ada saja perbuatanku yang tidak disukai oleh kaum Hawa. Teman-teman di kampus memberiku julukan si Mulut Buaya. Maklumlah, di tempatku kuliah hanya aku saja yang paling banyak diminati oleh gadis-gadis di kampus. Aku sangat bangga bahkan menjadi angkuh karena ketampananku. Badanku tinggi dan berisi bahkan mulai berotot seperti Ade Rai. Aku juga punya harta yang tujuh turunan tak akan habis. Aku juga disegani oleh teman-teman bahkan dosen di sana. Ya, jelas saja. Aku ini anak seorang pejabat negara.

Namun, ada satu gadis yang menurutku dia biasa saja. Kadang-kadang terlihat manis. Dia sangat membuatku kesal. Dia pernah menantangku dan tak ada rasa takut melawanku. Oh… mau cari mati dia, pikirku menantang.

Namanya, Linda. Dia perantau dari Bangka. Tidak cantik, tetapi cukup berani. Linda teman sekelasku. Dari semester satu sampai semester delapan saat ini, aku masih sekelas bersamanya. Kami selalu saja tidak pernah akur. Perdebatan sering terjadi. Tidak ada kata titik. Selalu saja tidak ada akhirnya. Sama-sama keras kepala.

Di kelas, aku dan Linda disebut sebagai Tom and Jerry. Seperti tikus dan kucing saja tiap hari bertengkar. Di suatu hari, entah hari apa, aku tak mendapat Linda masuk kelas. Mungkin dia tidak masuk hari ini. Dia sakit? Dia bolos? Dia mendapat hukuman? Ah… pertanyaan ini sering kali terlintas dalam benakku. Mengapa aku begitu khawatir?

Begitulah diriku, tidak mau menyadari kalau aku…

* * *

Di lain hari.

Linda berhasil menjadi ketua kelas. Aku menjadi sangat benci padanya. Aku kalah! Ah, itu tidak akan terjadi. Urusan sepele melawan dia! Dengan jurus bualanku, dia pasti akan tertarik padaku, dan akan masuk dalam perangkapku. Perangkap tikus, kataku dalam hati.

Wanita mana yang tidak akan tertarik padaku. Punya mobil kelas dunia yang hanya satu di Indonesia, wajahku tampan lebih dari seorang pangeran Inggris, pikirku membanggakan diri.

Sewaktu masih semester satu, aku pernah berpacaran dengan Lisa. Dia seorang model majalah terkenal. Cantik. Anak orang kaya. Berpenampilan menarik. Kemudian, aku putuskan hubungan dengannnya, hanya sebulan kita pacaran. Dia masih sakit hati sampai sekarang.

Lalu aku pacari lagi anak seorang angkatan darat. Namanya, Mona. Cantik dan feminin. Lagi-lagi aku memutuskan hubungan. Hanya sebulan pacaran. Kemudian, Shinta, seorang artis terkenal di Indonesia. Muda dan anggun. Aku pacari juga. Ya, hanya sebulan kita pacaran!

Lisa, Mona, Shinta, dan masih banyak lagi, mugkin sudah puluhan. Mereka adalah mantan pacarku di kampus, atau bisa disebut korban cintaku. Sakit hati. Wajarlah, hanya sebulan aku berhubungan kemudian aku putuskan! Selesai, ungkap diriku dalam hati.

Hanya dengan modal tampang keren dan ganteng. Bawa mobil pribadi, dan punya uang yang banyak, gadis-gadis di kampus berbondong mendaftarkan diri menjadi pacarku. Bahkan tidak hanya di kampus saja, di luar kampus juga banyak. Bukan salahku! Itu pilihan mereka!

Kupacari teman wanita di kampus, lalu kuputuskan. Kupacari lagi wanita lain di luar kampus kemudian kuputuskan, begitu seterusnya.

Tidak sedikit mantan pacarku yang sakit hati. Ada yang mencoba membunuhku, menamparku, bahkan melaporkan aku ke kantor polisi karena aku dianggap telah berbuat tidak senonoh terhadapnya. Ah, ada-ada saja, ketus hatiku.

“Sudah cukup kamu menyakiti hati mereka! Apa belum puas juga kamu!” Linda menggertak.

Tersentak aku kaget dari lamunanku yang membuatku merasa bangga ketika aku sedang bersantai di bangku kantin. Orang-orang di kantin juga memperhatikan Linda termasuk aku.

“He! Ngapain juga kamu ikut campur urusanku?”

“Aku tahu kamu tampan, ganteng, kaya, dan punya segalanya. Tapi hatimu busuk!”

“Apa kamu bilang? Enak saja kamu menghina aku!” Aku marah sambil bertolak pinggang.

“Itu kata-kata yang pantas kamu terima!”

Linda kemudian pergi dengan wajah sinisnya.

“Uh, dasar perempuan aneh!”

Mengapa Linda berkata kasar seperti itu? Apa aku punya salah padanya? Ya… sudahlah! Lalu aku pergi meninggalkan kantin di belakang kampusku, karena malu dipermalukan di depan teman-temanku.

Namun, aku juga tidak terima penghinaannya. Betul-betul keterlaluan!

“Sialan tuh anak, awas kalau bertemu nanti! Aku akan membalasnya!” sambil melotot menahan marah dan kesal.

Akhirnya, dengan perasaan penuh kesal aku tancap gas motorku dengan kencang. Menuju rumahku. Lampu merah aku terobos. Untung tidak ada polisi. Namun, di pinggir jalan kulihat Linda barjalan kaki sendiri. Entah mau kemana. Ah, kesempatanku memberi pelajaran padanya, bisikku penuh emosi.

Baru akan meminggirkan motorku ke trotoar, tiba-tiba mobil dari belakang menabrakku dengan kencang. Brak!! Suaranya seperti barang yang terjatuh dari lantai enam. Apa aku akan mati?

Aku melihat ada taman yang indah dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni. Kulihat banyak kerumunan orang memakai baju putih tanpa lengan. Kulihat juga di sekeliling taman ada beberapa gadis cantik yang kukenal. Itu seperti, Lola, Anna, Firda, dan Sonia. Bukankah mereka sudah meninggal secara tragis karena bunuh diri? Ya… sejak aku putuskan tali cinta yang waktu itu terbina. Sejahat itukah diriku? Hingga membiarkan hati mereka hancur sampai mati.

Mereka berempat tersenyum padaku. Mereka membawaku berkeliling taman. Hingga mereka menunjukkan sesuatu berupa cahaya putih menyilaukan. Aku mendekati. Kulihat ke bawah, dan betapa kagetnya aku. Kulihat seorang pria terkapar di ruang operasi dengan tubuh penuh jahitan. Masih basah. Hidungnya terpasang selang oksigen, kaki dan tangannya diperban. Oh… itu diriku! Kulihat di sampingnya ada seorang gadis yang kukenal. Itu Linda! Aku memanggil-manggil namanya beberapa kali. Dia tak mendengar. Aku pasrah. Aku juga ingin meminta maaf karena diam-diam aku benar-benar jatuh cinta padanya. Ketika pertama masuk di bangku kuliah, semester satu. Aku memang sudah curi-curi pandang dirinya. Walau banyak gadis cantik, aku tak menaruh perasaan. Jantungku berdebar-debar. Dag-Dig-Dug. Sangat terasa menembus aliran darahku.

Saat itu, aku mencintai seorang gadis untuk pertama kalinya. Namun, dia tak menyambut cintaku. Ataukah memang dia tak mengerti apa yang kurasa? Karena itulah aku jadi galau. Hatiku ingin melampiaskan rasa sakit hatiku kepada semua gadis-gadis yang ada di kampus.

“Maafkan aku, Lola,” aku memelas. “Maafkan aku, Anna, maafkan aku, Firda,” desahku lirih. “Maafkan aku, pula Sonia,” aku menangis.

Tiba-tiba mereka membawaku lagi ke tempat yang penuh dengan cahaya putih berkilauan. Mereka mendorongku.

“Maafkan aku, Damar. Sejujurnya aku sangat menyayangimu. Namun, aku sadar bahwa aku bukan siapa-siapa di matamu. Aku hanyalah gadis kampung yang liar. Tidak sepadan denganmu yang tampan dan kaya. Maafkan pula kata-kataku tadi siang,” Linda menangis memegang tanganku, lalu mencium keningku.

Aku mendengar kata-katanya serta aku merasakan kecupannya yang begitu penuh kasih sayang.

“Ah,” mulutku seolah ingin berkata.

Aku tidak bisa membuka mataku. Tubuhku sakit semua. Hancur dan retak seperti tertindih pohon besar.

Tiada berdaya kudengar isak tangis orang yang kusayang. Linda. Maafkan aku. Hatiku memendam rasa bersalah. Kucoba membuka mata ini. Aku berhasil membuka mata ini. Kulihat Linda di sampingku sambil memegang tanganku. Air matanya mengalir terus- menerus.

Aku mencoba berkata-kata walau sungguh sakit.

“Ma…, ma…,” kata-kataku terpotong-potong. “Ma… af…, maafkan…, aku…,” ucapku terbata-bata. “Aku…, mencintaimu!”

Kali ini air mata Linda mengalir lebih deras. Ia menangis. Aku pun menangis.

“Aku juga mencintaimu dan aku akan menjagamu dengan kasih sayangku,” balas Linda terisak-isak.

“Terima…, kasih…,” aku memejamkan mata.

Tiba-tiba tubuhku melayang ke udara. Kulihat Linda menangis histeris. Keluargaku baru datang. Sudah terlambat!

Kini, aku ditemani oleh empat orang bidadari. Lola, Anna, Firda, dan Sonia. Mereka menemaniku di sini. Di tempat seharusnya aku berada.

Read More......

Advertisement

Copyright © 2010 Dufan Blog's All rights reserved.
Wp Theme by Templatesnext . Blogger Template by Anshul