Menggapai Merah Putihku
oleh: Tias Eka

Namaku Surya Prakoso atau biasa dipanggil Ako usiaku kini 21 tahun dan aku adalah seorang mahasiswa tingkat 3 fakultas ilmu komputer jurusan sistem informasi. Suatu kebanggaan untukku karena sebagai seorang anak tukang sayur aku bisa menikmati bangku kuliah. Aku sangat bangga dengan kedua orang tuaku meskipun hanya berjualan sayur tidak menyulutkan semangat mereka untuk mendidik anak–anaknya. Mereka memang pekerja keras aku tak mau menyia–nyiakan kesempatan yang telah Tuhan berikan padaku. Aku tidak mau main–main dalam kuliah ku. Orang tuaku selalu berpesan agar aku serius dalam menjalani kuliah agar nantinya aku mempunyai bekal ilmu dan kehidupan yang lebih baik dari mereka.

Pagi ini pukul 03.00 WIB langit masih gelap, hanya semilir angin dan suara jangkrik yang bersautan. Seperti hari–hari sebelumnya aku membantu kedua orang tuaku yang sedang bersiap–siap untuk pergi ke pasar induk untuk membeli sayur mayur segar yang nantinya akan dijual kembali. Ya kami memang harus selalu bangun sepagi ini karena pukul 06.00 WIB warung kami harus sudah dibuka.

“Ko, nanti jangan lupa sepulang kuliah ke rumah Pakli’ dulu ya,” ucap Bapakku

“Memang Pakli’ sudah pulang Pak??” tanyaku.

“Sudah, kemarin sore. Kamu disuruh ke sana buat mengambil oleh–oleh, trus bilang sama Pakli’ dan Bulek mu, Bapak dan Ibu belum bisa ke sana, mungkin minggu depan,” ucap ayahku.

“Oya, salam dari Bapak dan Ibu,” ucap Ibuku menambahkan.

“Ya udah, Bapak dan Ibu berangkat dulu ke pasar bersihkan warung ya,” ucap Ibu.

“Iya Bu,” ucapku.

Aku menarik napas panjang udara pagi langsung menyergap seluruh tubuhku. Rasanya segar sekali karena belum terkontaminasi oleh polusi udara. Kedua orang tuaku sudah berangkat menuju pasar induk dengan motor tua milik ayahku. Motor itu kelihatannya memang sudah tidak bagus lagi tapi kehadirannya sangat membantu keluarga kami. Aku menunggu mereka sambil membersihkan warung dengan ditemani adikku Wina yang baru duduk di bangku SMA. Koko adik bungsuku yang saat ini masih duduk di bangku sekolah dasar masih tertidur lelap di kamar. Warung sayurku ini memang bisa dibilang sangat laris karena kami menjual berbagai macam sayur, bumbu–bumbu masakan juga lauk pauknya dan warung kami ini juga selalu menjual sayuran yang segar.

Suatu hari nanti aku ingin sekali membalas jasa mereka mungkin dengan memberikan mereka warung yang lebih bagus sehingga tidak kalah bersaing dengan pasar modern. Kedua orang tuaku sudah tiba di rumah dan dengan sigap aku dan adikku Wina membantu mereka menyusun sayur–sayur itu di warung. Jam sudah menunjukan pukul 04.30 WIB setelah menyelesaikan tugasku, aku bergegas untuk melakukan ibadah. Ibuku membangunkan Koko adik bungsuku untuk segera bersiap–siap untuk pergi sekolah. Nampaknya hari ini adalah hari yang istimewa baginya karena untuk pertama kalinya dia mendapat tugas untuk menjadi petugas upacara sebagai pembaca UUD 1945.

Aku masih ingat ketika aku bertanya kepadanya kenapa dia harus upacara setiap hari Senin dan kenapa semua anak di sekolah harus hormat kepada bendera merah putih? Dan dengan lugu dia menjawab dia harus upacara dan harus hormat kepada bendera merah putih karena Koko tidak mau perang lagi dan karena Koko tahu kalau buat bendera itu susah. Haha, aku tertawa mendengar penjelasan Koko. Tapi aku selalu bangga padanya karena dia selalu antusias bila upacara, apalagi kali ini dia ditugaskan untuk membacakan UUD 1945. Meskipun usianya baru 8 tahun Koko sudah pintar membaca dengan suara lantang, makanya dia terpilih sebagai petugas upacara pagi ini.

“ Mas, gimana penampilan Koko?” tanya adikku sambil mematut–matutkan dirinya di cermin.

“Wah gagah banget kamu,” ucapku.

Memang setiap patugas upacara wajib mengenakan seragam khusus untuk petugas upacara lengkap dengan semua atributnya.

“Gagah mana Koko apa Kakek?” tanya Koko sambil menunjuk foto kakekku di dinding. Pada foto itu kakek memang terlihat sangat gagah dengan seragam tentaranya. Beliau adalah salah satu pejuang yang juga pernah merasakan perang melawan penjajah. Tapi sayang Koko belum sempat melihatnya, beliau sudah meninggal 10 tahun yang lalu.

“Sama gagahnya!” jawab Wina, adikku.

“Koko mau jadi tentara seperti Kakek,” ucap Koko.

“Bisa, tapi kamu harus pintar dan kuat,” ucap Wina.

“Iya benar, kamu juga harus patuh sama Bapak dan Ibu,” ucapku.

“Ah.. Gampang,” jawab Koko sambil memandang foto Kakek.

“Memang Mbak Wina mau jadi apa?” tanya Koko.

“Mbak mau jadi dokter,” jawab Wina.

“Wah, kalo gitu nanti kalau Koko kena tembak Mbak Wina yang ngobatin Koko,” ucap Koko.

Aku dan wina tertawa. Koko pun tersenyum bangga. Koko terlihat sangat gagah. Aku sangat berharap kelak dia bisa menjadi anak yang berguna bagi bangsa ini.

***

Aku menapaki anak tangga menuju kelasku. Hari ini adalah mata kuliah favoritku yaitu perancangan sistem. Suasana kampus hari ini tidak berbeda dengan biasanya ada yang lalu lalang, mengerjakan tugas atau sekedar berbincang.

“ Hallo Ako,” sapa Ruly teman sekelasku.

“Hallo juga Rul,” balasku.

“Kamu sudah dengar ada ribut–ribut mahasiswa fakultas Ekonomi dengan fakultas Teknik?” tanya Ruly.

“Tidak, aku belum mendengar tetang itu,” jawabku.

“Iya, kemarin aku dengar ada anak Ekonomi yang marah dengan anak Teknik karena diejek,” jelas Ruly.

“Memang diejek bagaimana?” tanyaku.

“Kemarin tim futsal Ekonomi tidak terima dengan hasil pertandingan kemarin. Mereka menduga wasitnya memihak kepada tim futsal Teknik. Karena tidak terima dituduh menyogok wasit, tim Teknik marah dengan mengejek dengan menyinggung masalah RAS karena seperti kita tahu fakultas Teknik banyak yang berasal dari luar Jawa,” jelas Ruly.

“O begitu, lantas bagaimana sekarang?” tanyaku.

“Saya juga tidak mengerti tapi kita berharap semuanya bisa diselesaikan dengan baik-baik,” jawab Ruly.

Aku mengangguk setuju, kami pun tiba di kelas yang terletak di lantai 3. Aku dan Ruly masih asyik memperbincangkan masalah pertengkaran itu. Tiba–tiba saja aku mendengar orang yang berteriak–teriak. Aku berlari menuju jendela dan, ya Tuhan..... Sungguh di luar dugaan terjadi bentrok antara fakultas Ekonomi dan fakultas Teknik. Banyak orang berlarian sebagian dari mereka menggunakan helm dan membawa senjata seperti kayu atau bambu.

Fakultasku letaknya bersebelahan dengan fakultas Ekonomi yang diserang oleh fakultas Teknik. Aku sungguh tidak menyangka masalah sepele ternyata bisa menyulut emosi dan sepertinya kali ini tidak hanya melibatkan anggota tim futsal tetapi juga seluruh anak fakultas Ekonomi dan juga fakultas Teknik. Entahlah apakah ini bentuk solidaritas mereka?? Sungguh solidaritas yang salah kaprah!

Banyak mahasiswi yang berlari ketakutan dan menyelamatkan diri dengan memasuki gedung fakultas Ilmu Komputer. Suasana semakin kacau terdengar suara kaca–kaca yang pecah karena terkena lemparan batu. Mahasiswa dari fakultas lain mencoba melerai namun sebagian juga ada yang ikut dalam bentrok. Entah apa yang ada di pikiran mereka, mengapa mereka malah ikut–ikutan. Apa mereka mengetahui duduk perkara yang sebenarnya?? Apa mereka pikir ini ajang unjuk bakat?? Pihak kampus tidak bisa berbuat banyak. Para dosen mencoba meredamnya namun sia-sia. Memang sulit untuk menenangkan hati yang sedang dikuasai setan.

Bentrok semacam ini jarang terjadi di kampusku. Kejadian serupa terjadi kira 1 tahun yang lalu dan lagi–lagi bentrok ini terjadi antara fakultas Ekonomi dan fakultas Teknik, hanya saja waktu itu ada silang pendapat mengenai acara malam dana. Aparat mulai berdatangan namun sepertinya kedatangan mereka tak mampu meredam bentrok. Beberapa mahasiswa ada yang terluka karena terkena lemparan batu. Aku segera bergegas membantu mereka yang terluka. Mereka hanya dibaringkan di lobby fakultasku.

Sesaat kemudian terdengar suara tembakan polisi tetapi tembakan ke udara ini hanya mampu meredam emosi sesaat. Ya Tuhan mengapa begini moral mahasiswa? Apa mereka tidak malu dengan anak–anak SMA yang sekarang sudah tidak pernah tawuran lagi?? Mereka seharusnya bisa menjadi contoh bagi pelajar–pelajar bahwa tawuran itu tidak baik. Mengapa hanya karena hal sepele mereka rela melukai saudara mereka sendiri, rela membuang waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk belajar bukankah banyak orang–orang yang ingin berada di sini dengan sebutan MAHASISWA! Lantas kenapa mereka tidak mensakralkan lembaga pendidikan ini?? Mereka hanya memperlakukannya seperti RING TINJU!

Aparat berhasil menangkap beberapa mahasiswa yang diduga menjadi provokator dalam bentrokan ini. Entah apa yang ada di pikiran mereka. memperlakukan kampus seperti sasana tinju, memperlakukan saudara seperti musuh. Apa mereka tidak tahu bahwa banyak yang harus dilakukan ketimbang berkelahi! Bukannya tidak pernah aku terlibat bentrok tapi waktu itu aku dan BEM kampus berunjuk rasa di depan gedung DPR/MPR guna menyuarakan aspirasi rakyat, guna memperjuangkan nasib orang tua kami para rakyat kecil karena semakin terpuruk dengan kemiskinan dan menuntut keadilan.

Awalnya unjuk rasa berlangsung tertib namun suasana memanas ketika perwakilan kami tidak diizinkan masuk ke gedung DPR. Tapi bentrok dengan aparat itu tidak berlangsung lama. Tetapi ada hal yang kami pelajari bahwa berjuang tidak selalu dengan berunjuk rasa. Bentuk protes itu kini tidak lagi berakhir dengan ricuh karena kami membentuk aksi sosial, melakukan protes melalui kesenian dan kegiatan yang lebih bermanfaat.

Aku menarik napas lega ketika suasana sudah mereda. Aparat masih berjaga–jaga di sekitar kampus. Mengapa mereka harus mempersoalkan hal sepele apalagi harus dikaitkan dengan masalah RAS. Bukankah kita satu? Kita warga negara Indonesia!! Kita saudara. Bukankah ini sudah ditanamkan semenjak kita duduk di sekolah dasar?? Dengan mata pelajaran yang menyangkut dengan Indonesia dan kewarganegaraan. Bukankah setiap upacara kita selalu diingatkan akan persatuan Indonesia. Ah, apakah semua itu sia–sia??

Mungkin kita perlu diingatkan kembali atau bahkan upacara bendera tidak hanya sampai di SMA saja. Aku jadi teringat Koko adikku, dia begitu bersemangat melaksanakan upacara. Paling tidak dia hormat kepada bendera Merah Putih karena dia tahu kedamaian begitu sulit untuk diraih dan betapa sulitnya untuk memperjuangkan kemerdekaan dan mengibarkan bendera merah putih menjadi bendera kebangsaan Republik Indonesia.