Pelangi Di Hati Tia
oleh: Taufik Rinaldi & Peri Umar Farouk

Hari beranjak senja. Matahari masih menyinarkan kehangatan dan mengintip malu di sela-sela daun cemara di halaman rumah. Angin berhembus dan menciptakan nyanyian di genta angin kamar Tia. Ah, senja ini ternyata tak cukup sejuk buat meredakan gelisah gadis manis ini. Kegelisahan yang meerindukan ketenangan. “Dialog batin yang panjang ini ternyata tak juga menghapus keraguanku. Aku tersesat dalam hutan kegelisahan ini.” benak tia berkata. Entah sudah berapa buku dan majalah di bolak-balik si Hati Lembut ini –demikian teman-teman di kelas menjuluki Tia- demi menguapnya kesal dan resah.

Permasalahannya sederhana saja sebetulnya. Rina sahabat dekatnya, dengan sepenuh harap meminta Tia merelakan jawaban ulangan kimianya untuk disalin pada kertas jawaban Rina yang masih putih bersih.

“Aku gak sempat belajar, Tia.” Aku Rina, ”Kevin Costner merayuku untuk lihat JFK-nya tadi malam.” seperti biasa, Rina jagonya bikin alasan.

“Sekali ini nggak bisa, Rin!” elak Tia sambil menjaga agar bola mata pak guru tidak menempel dimejanya. “Ayo, cobalah semampumu!” lanjut Tia terus mencorat-coret di kertas hitungnya. Dalam hatinya, ia terkejut merasakan ketegaannya.

Rina ternyata kumat ngambeknya. Ketika lonceng pulang berdering, langsung saja Rina beranjak dari bangkunya dengan tak lupa meninggalkan wajah kanibalnya untuk Tia. Tia berusaha menggapai bahu Rina. Terus terang, Tia memang paling tidak suka kisruh dengan siapapun, apalagi Rina, teman yang sudah tiga tahun diakrabinya, yang giat mengacak-acak kamar tidurnya dengan alasan belajar bersama, ngerumpi, saling menceritakan nostalgia, de-el-el.

Kepulan asap bis kota yang membawa sosok Rina menambah kerut di kening Tia. “Ah, terkadang sulit memaknai persahabatan.” ungkap batinnya sambil menatap bis kota yang tinggal sepotong di tikungan jalan.

Terbayang di matanya saat Tanti menceramahinya di kantin sekolah, “Kamu terlalu mengalah, Tia. Selalu saja kamu mengumbar maaf bila Rina membuat kesalmu.” tanpa menunggu reaksi Tia, Tanti terus saja berkata-kata, ”Sebagai manusia, kamu berhak untuk memarahi dan menujukkan kesalahan-kesalahan Rina. Atau kamu ingin jadi malaikat?”

Tia menutup jendela kamarnya, agaknya angin tak ramah lagi kepadanya. Angin mungkin telah mengutuk keraguannya. Segumpal tanya menyeretnya untuk duduk kembali di meja belajarnya, kemudian dia membolak-balik album yang memuat foto-foto saat mereka, Tia dan Rina berlibur di desa tempat nenek Rina tinggal. Tampak gambar Rina ketika menatap jauh pesawahan dengan mata kosong. Yah, kosong dan hampa memang latar belakang kehidupan sahabatnya itu. Orang tua Rina telah membiarkan hari-hari manis Rina lewat begitu saja. Mereka sibuk entah mengejar apa. Kenyataannya hati Rina senantiasa menggigil tanpa kehangatan. Perasannya telah menjadi pikun sebelum waktunya.

“Bagaimana mungkin aku memarahi dan membiarkan Rina melewati hari tanpa seorang sahabat?” getar suara Tia menembus pengertian Tanti saat pulang sekolah, “Sebagai sahabat, aku merasa berkewajiban untuk melerai resah hatinya , Ti. Pengalaman telah membuktikan, bila aku marah, Rina akan kehilangan pegangan. Aku belum bisa membuat dia mengerti, bahwa kasih sayang tidak melulu harus diungkapkan dengan puji-pujian. Aku takut persahabatan hanyalah nonsense baginya!”

Tanti hanya bisa mengangguk-angguk mencoba memahami gadis manis si lembut hati ini. Tapi di dalam hatinya, Tanti merasa ada yang salah pada Tia. Entah apa.

Bulir-bulir hujan sore ini menyentak Tia dari lamunannya yang berkepanjangan. Tetes demi tetes hujan berciuman dengan akar pepohonan. Hujan ini memang lebih membawa keindahan dalam dinginnya. Hanya itu sajakah? Tidak! Hujan ini juga telah mengurai tanya di benak Tia satu persatu. Kabut yang menggumpal pekat justru menguak tabir keresahan dalam hatinya. Dingin dan basahnya perlahan mengkristalkan sebentuk kepastian. Ya, kepastian sikap.

Tia sadar kini, seperti kata Tanti, dia terlalu memanjakan Rina. Membiarkan dan memaafkan ulah Rina yang membuat sedih hatinya bukanlah kasih sayang yang sebenarnya, tetapi rasa kasihan dengan terlalu perhitungan, perasaan rapuh yang membangkitkan kebimbangan. Rina sering membatalkan janji-janjinya hanya untuk memuaskan hobi nontonnya yang kelewatan. Belum lagi ucapan tolong ini-tolong itu yang acapkali membuat Tia kewalahan. Tapi walau Tia telah membantunya dengan ikhlas, masih ada saja cacat cela yang dialamatkan Rina pada hasil kerja Tia. Selama ini kalau Tia berlapang dada pada Rina, itu karena Tia merasa takut membuat Rina bersedih, apalagi ortu Rina tak pernah punya waktu untuk menampung keluhan-keluhannya. Tapi itu tidak bisa diteruskan. Maaf dan lapang dada Tia justru membuat Rina tenggelam dalam kemanjaan dan lupa memperbaiki dirinya. Selain itu Rina menjadi begitu tergantung pada Tia.

“Sesekali aku harus bisa memarahinya, demi Tuhan, bukan untuk kepuasan emosiku, namun agar Rina tahu kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya.” Tia bergumam, “Biar saja Rina marah karena tak kuberi jawaban ulangan siang tadi, Insya Alloh dia mengerti dan mau menunda hobi layar lebarnya untuk memperhatikan pelajarannya.”

Senyum Tia mengembang. Dia lega sekarang. Apa yang diperbuatnya tadi di kelas adalah untuk kebaikan Rina. Sungguh segar keyakinan itu merasuk dalam dirinya. “Terima kasih Tuhan. Kau telah memantapkan hatiku dalam ketulusan!”

Pelangi di hati Tia telah kembali cemerlang, kabut gelisah dan ragu telah menguap oleh cahaya matahari kesadaran. Tuhan telah menerbitkan matahari itu untuknya. Dirapikannya meja belajar dan rak buku yang awut-awutan. Dalam hati Tia berdoa agar Tuhan memberi sebentuk pengertian kepada Rina, kawan centilnya itu.

“Tia, ada temanmu di luar sana!” seru tante Tia yang telah dua hari ini berlibur di rumahnya. Tia menghentikan kegiatan sapu bersihnya, lantas merapikan jilbab yang dikenakannya.

“Siapa hujan-hujan begini datang, dan mau apa?” bisik Tia sambil bergegas menuju ruang tamu. Tia terkejut, terharu. Di teras rumah berdiri menggigil seorang gadis dengan pakaian dan jilbab yang basah kuyup. Hujan telah memeluk erat gadis itu. Tia tak kuasa menahan air mata gembira yang tanpa pamit turun dari sudut mata beningnya. Bibir pucat itu berujar, "Maafkan aku, Tia!”

Bibir itu milik Rina.