En, Apa Kau Memaafkanku?
oleh: Abd. Qodir al-Amin

Hari ini terasa begitu melelahkan. Setumpuk buku masih berserakan di atas meja. Berlembar-lembar makalah yang berjejal di meja komputer membuatku amnesia. Satu minggu lagi desertasiku harus selesai. Aku benar-benar dikejar waktu. Entahlah, untuk hari ini saja, aku benar-benar ingin istirahat. Sejenak melepas ratusan tesis yang memusingkan. Kutatap barisan rak buku yang membuat kamarku terasa sempit. Tiba-tiba saja mataku tertuju pada rak di pojok ruangan. Rak itu tempat khusus untuk menyimpan file-file pribadiku. Ah… sudah lama tak kujamah rak itu. Sebuah buku bersampul biru muda menarik perhatianku. “Kumpulan Manuskrip Biru”.

Ya, lebih baik kubaca manuskrip ini saja. Mungkin dengan berkelana di masa silam, penat di kepalaku dapat berkurang. Aku berharap akan menemukan sesuatu yang lucu di sana, atau kenangan-kenangan yang mampu membuatku bersemangat lagi, setidaknya, aku dapat terhibur dengan mengarungi masa lalu.

Amboi, betapa kenangan benar-benar hantu yang tak mampu kubunuh. Ia seperti orang tua yang mengajariku untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Tak jarang, masa lalu seperti Ayahku yang menghukumku karena berbuat kesalahan, ada kalanya membelaiku lembut bak seorang Ibu. Hmm.. mungkin aku berpendapat bahwa masa lalu adalah orang tua ketigaku setelah Ayah-Ibu dan Guruku.

Selembar demi selembar kujelajahi tulisan-tulisan yang mengabadikan kisah-kisahku. Aku mulai serius ketika sampai kepada halaman berjudul “Kotak Pink-ku Sayang”. Sebuah file yang kutulis dan kukirimkan kepada seseorang. Ah, di sini, aku benar-benar tidak menyukai masa lalu. Tiap kali membaca bagian ini, bagian “Kotak Pink-ku Sayang,” serasa masa lalu benar-benar telah memberikan hukuman abadi untukku, hukuman yang tak pernah lepas dari tubuhku. Hukuman yang mungkin akan menyiksaku seumur hidup. En, apa kau memaafkan aku?

Kepada: En

Halo, En! Maaf ya, aku nulis surat buat kamu. Tak apa-apa kan… Halo, En! Aku minta pendapat, gambar ini bagus ya? Aku sudah lama sekali melupakan gambar ini. Gambar boneka panda yang lucu. Iya..ya.. gambar boneka panda, bukan gambar seekor panda, tapi gambar boneka panda. Kamu pasti tahu! Kalau lupa, coba ingat-ingat! Bertahun-tahun yang lalu, gambar ini begitu melekat dalam hidupku. Kamu bisa melihat, kan… wajahnya sendu. Meski tersenyum, gambar ini kelihatan menyembunyikan sesuatu… sesuatu yang begitu sedih. Tersimpan rapat-rapat dalam hati yang sepi…dan sungguh! Tiap kali aku memandang gambar ini, aku selalu ingin berubah menjadi seekor induk panda, Iya…ya… seekor induk panda yang akan menghapus kesedihannya, seekor induk panda yang akan melindunginya dari dingin, atau seekor induk yang akan mengajaknya bermain, bernyanyi dan bergembira.

Ya, bertahun-tahun yang silam, ketika aku masih sering sekali bermain dadu. Mungkin sekarang pun aku masih suka bermain dadu. Kamu tahu, kan… DADU? Itu lho, DADU. Setiap sisi mukanya berbeda. Berbeda angka, berbeda warna dan berbeda gambar… Bentuknya kotak. Ya, kotak. Ah, benar… Aku jadi ingat tentang kotak. Aku menyimpan sebuah kotak. K-O-T-A-K. Nah, aku akan bercerita tentang kotak itu.

Halo, En! Kamu masih membaca suratku, kan? Ya, terima kasih… Beberapa tahun yang lalu, tiba-tiba saja ada sebuah kotak tergeletak di kamarku. Aku tak tahu siapa yang menaruhnya. Tak ada siapa-siapa di kamarku, tak ada yang bisa memasuki kamarku kecuali atas ijinku. Bahkan Ibuku! Ibuku membenci kotak, segala sesuatu yang berbentuk kotak, sesuatu yang mempunyai sudut sembilanpuluh derajat, Ibuku membencinya (tapi aku tidak akan menceritakan padamu sebab atau alasan kenapa Ibuku membenci kotak, ini rahasia keluarga)

Hihihi, kotak itu warnanya pink! Ya, warnanya pink, dan ukurannya lebih besar sembilan kali lipat dari dadu. Aku benar-benar tak tahu siapa yang menaruhnya di kamarku. Mungkin malaikat yang menaruhnya. Tapi kotak itu tidak ada gambarnya. Setiap sisinya berwarna pink-polos. Tidak ada angka dan tidak ada gambar. Pink! Itu saja.

Halo, En! Kamu tahu, apa isi kotak itu? Ah, benar. mana mungkin kamu tahu. Kamu kan sedang membaca ceritaku.

Kotak itu berisi sesuatu yang bisa membuatku begitu bahagia. Membuat hidupku begitu riang. Setiap hari, aku selalu membukanya, kemudian senyum-senyum sendiri. Kotak itu begitu lucu. Aku menyukainya. Ya, aku menyukainya. Aku tak ingin kehilangan kotak itu. Tapi tiba-tiba saja isi kotak itu hilang. Kenapa?

Aku sedih. Sedih sekali. Aku menangis. Menangis sekali. Tidak ada yang mencuri. Dan tidak dicuri. Isi kotaknya hilang. Halo, En! Aku sedang bersedih. Hatiku menjadi sepi… hidup terasa tak indah lagi… isi kotak itu hilang.

Aku membawa kotak itu ke dalam gudang. Aku sadar, isi kotak itu tidak akan kembali. Tinggal kotak semata, tanpa isi, tanpa arti. Kusimpan kotak itu di gudang. Aku tak ingin membuang kotak itu. Tapi aku simpan di dalam gudang, kukunci rapat-rapat. “Blank!” Begitu bunyi pintu gudang itu kubanting. “Blank!” Agar aku tak bersedih. Agar aku tak mengingatnya lagi. Siapa tahu isinya akan ada lagi. Tiba-tiba saja. Aku berharap sekali. Isi kotak itu akan kembali. Kukatakan kepada temanku-temanku. Kotak pink itu sudah aku buang. Sudah aku bakar. Halo, En! Aku membakar kotak pink itu.

Diam-diam, aku selalu memasuki gudang itu. Padahal, aku paling benci dengan gudang, apalagi berada di dalam gudang. Tapi semenjak gudang itu kujadikan tempat penyimpanan kotak pink, aku jadi betah. Diam-diam, aku sering menangis, berhari-hari di dalam gudang. Kalau aku larut dalam tangisan, aku akan membawa kotak itu ke kamar. Di atas kasur. Kupeluk kotak itu, kutangisi hingga aku letih. Buru-buru kumasukkan kotak itu ke gudang lagi. Isinya memang tak mungkin kembali. “Blank!” Begitu bunyi pintu gudang itu kubanting.

***

Aku pulang. Aku punya kotak baru. Aku membawa kotak baru. Warnanya juga pink. Tapi dua sisinya ada yang berwarna putih dan hitam. Selanjutnya, kotak itu yang selalu menemaniku di kamar. Aku menyebutnya kotak tiga warna. Pernah kubawa kotak-kotak yang lain. Tapi segera kubuang. Aku tak suka. Kalau aku ingin menangis, aku menangis kepada kotak tiga warna itu. Kalau aku ingin marah, aku marah kepada kotak baru itu. Kotak itu temanku sekarang. Kotak pink yang ada di gudang, biar saja membusuk. Aku ingin melupakannya. Tapi ternyata sulit… Tetap saja aku sering masuk gudang. Diam-diam dan memperhatikan isi kotak itu. Tapi tetap saja tak ada isinya. Ah, biarkan saja! Aku sudah punya kotak baru. Kotak tiga warna.

Hariku kembali bersemangat. Kulalui penuh cerita. Kotak tiga warna itu sudah menjadi bagian dari hidupku, sebelum akhirnya terjadi goncangan keras. Bumi berputar-putar. Gemuruh ada di sana-sini. Suara-suara panik berhamburan. Kotak baruku hilang. Hah! Hilang? Kotak barunya hilang. Kotak tiga warnaku hilang. Isinya masih tertinggal di kasur. Tapi kotaknya hilang. Apa ada pencuri? Aku merasa sangat kehilangan. Aku tidak ingin menangis. Tapi aku terlanjur menyukainya. Sudah kukatakan kepada teman-temanku. Kotak itu milikku. Kotak itu ada di kamarku. Tapi kenapa hilang? Halo, En! Kotak itu hilang. Apakah Tuhan mencurinya dariku, tahu malaikat yang marah kepadaku karena telah menelantarkan kotak pink pemberiannya. Ah, malaikat itu kekanak-kanakan sekali. Padahal aku sayang sekali dengan kotak tiga warna itu, ia sudah lama sekali menemaniku. Menghias ruang dan hidupku. Menyemangati hariku. Dan kini kotak itu hilang.

Aneh… Kotak pink yang ada di gudang hilang isinya, sedang kotak tiga warna yang ada di kamar hilang kotaknya. Sungguh, benar-benar aneh!

Halo, En! Apa kamu masih mengikuti ceritaku. Aha! Terima kasih. Menurutmu, apa yang akan aku lakukan jika aku mempunyai satu kotak yang tak ada isinya dan satu isi yang tak ada kotaknya? Aha! Kamu salah! Aku tak akan menyatukan keduanya. Aku tidak akan memasukkan isi yang tak ada kotaknya ke dalam kotak yang tak ada isinya. Ya! Kamu salah! Karena itu tak mungkin bisa.

***

Ah, isi kotak tiga warna ini, apa baiknya kusimpan saja di gudang, ya? Sama seperti kotak pink yang ada di sana. Biar saja membusuk bersama usia. TIDAK! Lebih baik kubakar saja, kubuang dan abunya kusebar di Sungai Gangga. Itu solusi yang tepat! Tapi, untuk kotak pink yang ada di gudang, apa baiknya juga kubakar dan kubuang abunya di Sungai Gangga?

TIDAK! Aku menyukai kotak pink itu. Meski aku selalu dibuat sakit karenanya. Tidak! Kotak pink itu tidak akan pernah kubuang.

***

Aneh.. Aku malah ketemu satu kotak lagi. Kotak itu ada di kolong tempat tidurku. Baunya busuk, warnanya hitam semua, dan isinya kotoran. Aku mengambil kotak hitam itu. Ah, apa mungkin Tuhan hendak menggantikan kotak-kotak kesayanganku dengan kotak hitam ini?
“Aduh!” Kotak hitam itu yang akhirnya selalu menemaniku. Ya, sudah!

***

Halo, En! Aku pergi. Ya, aku pergi. Ketika pulang kembali, kotak hitamku dimaling orang. “Nasib!” Sudah lelah-lelah aku mencari cat warna, sudah letih-letih aku membeli parfum, sudah capek-capek aku mencari pembersih kotoran. Ternyata kotak hitamku digarong orang. Halo, En! Aku capek. Sudahlah, aku tak ingin menangis, membenci dan murka. Biar si Garong itu saja yang merawat kotak hitamku.

***

Aku masih punya satu kotak lagi. Kotak pink yang ada di dalam gudang. Halo, En! Kamu masih ingat kan? Aku tak pernah membuang kotak pink itu! Meski sudah tak ada isinya, tapi aku sangat menyukainya. Aku tak ingin menangis lagi, meski isi kotaknya sudah tak ada. Meski isi kotak itu sepertinya tak mungkin ada. Tak mungkin kumiliki. Tapi aku menyayanginya. Sejujurnya, aku ingin kotak pink itu sempurna dengan isinya, menjadi temanku, menghias ruangku, mengisi hidupku. Tapi sepertinya memang tak mungkin. Ya, sudahlah! Biar kusimpan saja di dalam gudang.

Halo, En! Kamu tahu apa isi kotak pink itu? Isi kotak pink yang hilang bertahun-tahun lalu itu? Halo, En! Apa kamu tahu? Apa kamu mengerti? Haloooooooo!!! Isi kotak itu adalah gambar boneka panda, iya… gambar boneka panda yang kamu hadiahkan untukku di malam perayaan ulang tahunku ke duapuluh empat, di bawah gambar itu tertera sebuah nama, nama yang indah sekali. Nama yang begitu melekat di hatiku, di hidupku, bertahun-tahun lamanya. “En Febrian Dewi” Kamu mengerti, kan?!

Terimakasih, En, kamu telah setia mengikuti derasnya tulisan ini!

Semoga kau selalu mengingatku:
Laki-laki bodoh yang selalu mencintaimu,
tapi tak pernah berani mengatakannya.

***

Surat ini mengantarkan orang yang paling aku cintai pergi ke tempat paling sepi. Tempat terjauh yang paling abadi. En meninggal dalam kecelakaan sewaktu hendak menyusulku ke stasiun Lempuyangan. Ya, tepat dua jam setelah kuberikan tulisan ini di halaman kampus dan aku pamit hendak meninggalkan Yogyakarta untuk selamanya. Ah, En. Apa kau memaafkanku?