Saat Ultah
oleh: Putra Gara


Sekaranglah kesempatannya, ya sekaranglah kesempatannya, benak saya membatin, menerobos keraguan yang sudah cukup lama saya pendam.
Maka, segera saya bungkus "Jalan Menuju Cinta"-nya Jalaludin Rumi, dan "Surat-surat Cinta"-nya Khalil Gibran, dengan kertas kado berwarna merah muda.
Ya, sekaranglah kesempatannya, sekali lagi, benak saya membatin, memantapkan hati saya.
***

"Retnooo...! Retnooo...!" panggil Ratih setengah teriak. Gadis itu tersenyum ke arah saya. Senyumnya manis, tidak beda dengan senyum Retno, adiknya.
Saya juga tersenyum.
"Masuk aja, Van," katanya. "Sebentar ya saya panggil Retno-nya."
Saya mengangguk sambil tersenyum lagi. Sepatu kets yang saya kenakan saya buka sebelum melangkah ke dalam rumah. Setelah sampai di dalam, saya menjatuhkan pantat di atas sofa.
Sejak dari rumah, jantung saya yang berdetaknya kelewat rajin semakin menjadi-jadi saja. Bahkan waktu saya mengendarai motor dari rumah saya ke rumah Retno ini pun, perasaan suara detak jantung saya lebih cepat ketimbang lari sepeda motor itu. Ada hembusan napas berat dari hidung saya. Tanpa sadar, saya remas kado di tangan. Gelisah.
Beberapa menit kemudian, sosok dengan gaun coklat muda yang pada lengan tangannya ada dua garis hitam muncul dari dalam kamar.


***
Ada senyum yang mengembang.
Ada pula senyum balasan.
Untuk beberapa detik, di antara senyuman, mata saya beradu pandang. Tapi kemudian, sosok bergaun coklat yang punya rambut panjang itu tertunduk malu. Tersipu.
"Hai...." sapa saya, pelan.
Tidak ada sahutan, cuma ada senyum yang kembali mengembang. Perlahan, masih dengan tersipu malu, sosok dengan gaun coklat berambut panjang, gadis cantik nan manis bernama Retno Ayu Larasati itu duduk di sofa.
"Main, Van," suara Retno merdu terdengar.
"He-eh," saya menjawab dibarengi anggukan.
Kami saling senyum lagi.
"Kenapa tadi siang nggak masuk sekolah?" tanya saya, hati-hati.
"Sengaja," jawab Retno, sudah tidak tersipu lagi.
"Bukankah... bukankah... hari ini kamu ulangtahun?"
Retno tersenyum. "Iya," jawabnya, sambil memandang saya sebentar. "Setiap ulangtahun, dari mulai kelas dua SMP, saya sengaja mengurung diri di rumah, di dalam kamar," kata Retno. "Saya kepingin ngoreksi diri saya saat hari kelahiran saya. Makanya saya nggak ke mana-mana."
Hening....
"Sekarang saya sudah kelas dua SMA," ujarnya, cuma sejenak. "Saya kepingin belajar dewasa. Lewat perenungan, di hari kelahiran saya," tambahnya lagi.
Hening lagi.
Saya memandang Retno.
Retno tertunduk.
"Retno...."
"Hmmm...."
"Tadi, saat kamu menyudahi kata-kata kamu itu, kamu pun sudah dewasa, No," kata saya, pelan. "Selamat, ya."
Retno mengangguk dengan senyuman.
"Nggak ada yang bisa saya berikan selain ini," saya menyodorkan kado di tangan saya. "Cuma buku bacaan."
Retno menerima kado pemberikan saya. "Makasih ya, Van," katanya, sambil ingin membuka bungkus kado itu.
"Eh, bukanya nanti saja, kalau saya sudah pulang. Jangan sekarang. Sebentar saya malu."
Retno kembali tersenyum. Saya juga.
Lalu diam.
Hening pun ada lagi.
Agak lama, hening itu menguasai.
"Silakan diminum airnya, Van." Tiba-tiba Ratih sudah berada di antara kami, sambil meletakkan air putih di atas meja.
"Waduh, saya sampai lupa ngambilin air minum," Retno tersenyum.
"Nggak apa-apa. Makasih ya, Tih."
Ratih juga tersenyum. Lalu pergi kembali membawa baki.
Saya meminum air yang dibawa Ratih, sedikit. Lalu diam lagi.
Hening lagi.
"Jangan pandang saya seperti itu, Van!" Retno tersipu, ketika mata saya menjajahnya.
"Kenapa?"
"Malu." Retno tersipu lagi.
Saya tersenyum. "Saya ingin melihat hati kamu. Sebenarnya sih, sudah lamaaa banget," kata saya, sambil menggoda.
"Lho, mana bisa," Retno merunduk. "Hati saya ada di dalam, kok, di sini," ia meraba dadanya dengan jari manisnya.
Saya tersenyum lagi. "Hati kamu sebenarnya dekat banget dengan saya, No. Cuma... saya takut mengambilnya, takut kamu marah."
Kali ini Retno yang tersenyum. "Kenapa?" tanyanya sembari mempermainkan ujung rambut panjangnya. "Apakah selama ini saya pernah marah sama kamu?"
"Nggak, kamu nggak pernah marah sama saya. Kamu baik, kok!"
Kami berdua saling senyum lagi.
Lalu hening lagi.
"Retno...." Kalimat saya digantungkan. "Kamu nggak marah kalau saya bicara terus terang sama kamu?"
"Lho, tadi kan sudah saya bilang, apakah saya pernah marah sama kamu? Dan dari tadi juga, kita sudah saling bicara, kok."
"Tapi yang ini lain, No." Deg, deg, deg! Tiba-tiba detak jantung saya kelewat rajin berdetak lagi, setelah beberapa menit yang lalu sudah kembali normal.
"Lain apanya? Coba deh, bicara aja."
"Benar, nih? Kamu nggak marah?"
Retno tersenyum.
Detakan jantung saya seperti laju kereta, cepaaaat banget.
"Saya... saya... saya suka kamu, No!"
Plep! Langsung wajah Retno merona merah. Dia merunduk. Tidak tersenyum dan tidak tersipu lagi.
Dia diam.
Dan terlambat sudah bagi saya untuk menyesal.
Apalagi menarik kembali kalimat yang sudah terlontar.
Lama juga kami saling diam.
Retno tetap merunduk.
Dan saya tetap menatap lekat ke gadis yang duduk di depan saya, yang dipangkuannya ada kado berwarna merah muda.
"Maafkan saya, Retno, kalau saya bersalah ngucapin kata-kata itu." Saya menarik napas panjang.
Sedikit, Retno mengangkat kepala. "Nggak, kamu nggak salah, kok. Itu memang hak kamu kalau kamu kepingin ngucapin kata-kata itu."
"Jadi kamu nggak marah?"
Retno menggeleng.
"Kamu... kamu juga suka saya, No?"
Retno tidak menjawab. Dia merunduk dalam. Seperti ada ganjalan di napas yang ia keluarkan.
Hening lagi.
Saya menunggu saat-saat selanjutnya.
Retno mengangkat kepala. "Kamu benar-benar suka sama saya, Van?" tanyanya, serius.
Saya tersenyum dan mengangguk pasti.
Retno merunduk lagi. "Kalau kamu benar-benar suka sama saya, saya pinta sama kamu, lupakanlah saya," ucapan Retno begitu mengagetkan saya.
"Kalau kamu nggak cuma sekadar bilang suka sama saya di mulut kamu, penuhi permintaan saya itu, Van. Buktikan kalau kamu memang benar-benar suka sama saya...."
"Retno, saya... saya nggak mengerti apa yang kamu bicarakan, No?"
"Berusahalah untuk mengerti walau kamu nggak mengerti, Van," kata Retno, matanya berkaca-kaca. "Karena... karena saya hidup nggak akan lama lagi! Saya sakit, Van. Saya nggak dapat menahan nyeri sakit kanker saya." Airmata Retno mengkristal.
Butiran itu jatuh di pipinya yang halus.
Ada isak yang tertahan.
Isak itu terdengar begitu giris menyayat kalbu.
"Retno...." Suara saya bergetar. "Kamu nggak pernah bilang sebelumnya, No!"
Retno merunduk. Gadis di hadapan saya ini tiba-tiba jadi begitu rapuh.
"Saya nggak ingin orang lain tahu selain keluarga saya, Van," kata Retno, setelah diam beberapa detik. Tangannya sibuk mengusap airmata yang menetes. "Penyakit itu sudah saya rasakan bertahun-tahun. Sekarang saya memberitahukannya ke kamu. Saya harap kamu mau mengerti tentang saya. Saya nggak ingin kematian saya meninggalkan beban di hati seseorang. Kalau kamu benar-benar menyukai saya, lupakan saya, Van. Anggap saya nggak pernah ada."
"Tapi, No... kematian hanya milik Tuhan. Kamu jangan sampai larut dengan penderitaan seperti ini. Saya... saya menyayangi kamu apa adanya, No."
Retno terdiam.
Airmatanya belum berhenti mengalir.
Saya jadi ikut larut dalam kesedihannya.
Ada airmata juga, di mata saya.
"Retno...."

***
Hening dan sepi sekali hati saya. Saya tak kuat dan tak tahan melihat gadis itu  melewati hari-harinya dengan kesedihan dan penderitaan akan penyakitnya. Ingin  rasanya saya selalu bersamanya, melewati hari-harinya yang katanya tidak lama lagi  itu—seperti yang ia katakan dua hari yang lalu saat hari ulangtahunnya. Tapi  kecelakaan sepeda motor saat saya pulang dari rumahnya, menghempaskan saya ke  sebuah alam yang begitu jauh dari alam gadis itu.
Retno di alam fana, sedangkan saya sudah di alam nan tak tersentuh.
Ah, maut, memang tidak pernah ada yang menduganya.
Gadis itu menangis. Entah apa yang disedihkannya. Dalam parau suaranya, saya mendengar nama saya disebut. Meskipun pelan, tapi saya amat jelas mendengarnya. Sudah dua hari ini, dalam kesendiriannya, nama saya selalu disebut-sebut. Tapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Karena alam saya dengan alam Retno sudah berbeda.