Setelah Dua Puluh Tahun
oleh: Fiya Hentihu

Aku adalah anak tunggal di rumah. Bukan karena Bunda tak bisa punya anak lagi, tapi karena ayahku meninggal dua puluh tahun yang lalu. Saat itu umurku baru tiga tahun. Ayah seorang penerbang Angkatan Udara. Beliau terbang ke seluruh pelosok wilayah Indonesia dan sangat mencintai pekerjaannya. Terakhir kali Ayah terbang ke Papua dan itu memang penerbangannya yang terakhir. Dua minggu kemudian, dua perwira Angkatan Udara datang ke rumah dan mengatakan pesawat Ayah hilang. Sudah berhari-hari pegunungan Papua diteliti jengkal demi jengkal tempat diperkirakan jatuhnya pesawat. Tapi tak secuil pun ditemukan bangkai pesawat Ayah. Akhirnya oleh Angkatan Udara dinyatakan, Ayah dan dua rekannya meninggal meskipun tanpa makam.

Tak banyak yang aku ingat dari sosok ayahku. Yang kuingat hanya badannya yang tegap dengan seragam putih-putihnya. Bahkan suaranyapun aku sudah tak ingat lagi. Maklum waktu Ayah meninggal aku baru berumur tiga tahun. Setelah itu kehidupan kami berdua, aku dan Bunda, terus berjalan tanpa kehadiran seorang Ayah baru. Dan bayangannya semakin terbenam dalam pikiranku.

Sejak kecil aku paling senang dengan alam. Laut dan pegunungan tempat favoritku setelah kamar tidurku. Aku tahan berjam-jam berenang di laut di tengah ombak yang bergulung-gulung atau mendaki gunung sendirian, berarung jeram atau hanya sekedar jalan-jalan pagi yang tak pernah aku lewatkan kecuali kalau lagi kurang enak badan. Semuanya menyenangkan. Tapi Bunda selalu menghawatirkanku. Maklumlah karena memang hanya akulah satu-satunya harta yang paling berharga yang masih dia miliki. Tapi beliau selalu mengalah dan memahami hobiku yang menurutnya sangat berbahaya.

Beberapa bulan sebelum liburan, seorang kakak temanku menawarkan untuk mendaki gunung di Papua tepat saat liburan semester. Tidak terlalu tinggi tapi memang benar-benar masih perawan dengan hutan yang rapat dan jurang jurang.

Hampir tiap akhir pekan, aku dan teman-teman pergi ke gunung, menyusuri goa untuk pemanasan. Tapi untuk pergi kali ini aku merasa takut tanpa ijin bunda. Dan memang betul, dia tersentak kaget mendengar permintaanku.

“Yang berangkat sudah berpengalaman semua, Bunda,” kataku

“Tapi kamu kan belum tahu hutan Papua itu seperti apa Dani!” katanya.

Lalu disusul dengan kalimat kalimat lain yang serupa. Banyak yang hilanglah, tak sedikit yang matilah, tersesatlah, inilah, itulah. Aku tak mengomentarinya. Walau seperti yang sudah sudah, jadi juga aku pergi. Bunda mempercayaiku dan selama ini aku tak pernah membuatnya kecewa dan kesusahan dengan kegemaranku pada alam.

“Jangan lupa bawa hape kamu biar bisa tetap komunikasi dengan Bunda,” ceracaunya cemas.

“Ya… Bunda. Di sana mana ada sinyal? Kan hutan belantara.”

“Bunda nggak perduli. Pokoknya bawa! Atau kamu tak jadi berangkat!” ancamnya.

“Iya… iya.” Dengan terpaksa aku menuruti apa kata Bunda, meskipun aku tahu barang ini tak bakalan ada fungsinya di sana. ‘Yaa… sekedar menyenangkan hati Mama,’ batinku

Sebulan kemudian, aku dengan ketujuh orang lainnya, berangkat ke Papua. Kami menginap semalam di kampung terdekat titik awal pendakian. Kampung ini sangat kecil dan di ujung kampung menganga sebuah hutan yang lebat. Keesokan harinya kami memulai pendakian. Setengah jam mulai berjalan di dalam hutan, tumbuhannya semakin rapat. Jalan setapak tak kelihatan lagi. Dan inilah saatnya untuk kami membuka jalan baru. Medan sangat berat, tapi cuaca sangat bagus, tak ada hujan, peralatan serta bahan makan masih lengkap. Kami siap fisik dan mental. Tak ada sedikit pun perasaan cemas menggerayangi selama perjalanan ini.

Ketika hari mulai gelap, kami berhenti berjalan dan mulai membangun bivak. Kemiringan dataran lumayan besar. Tak ada tanah yang cukup datar untuk mendirikan tenda.

Malamnya aku susah sekali tidur padahal aku kecapekan. Selain Bisri dan Slamet yang sedang main kartu remi, yang lain sudah pada tidur pulas di kantong masing-masing. Alam di sekitar kami sunyi senyap. Suara binatang hutan bersahut sahutan di tengah kegelapan malam. Aku keluar dari kantongku, duduk dan mencabut rokok.

“Belum tidur, Dan?” Bisri menyapaku.

Aku menggeleng. “Nggak tahu kenapa, susah banget mau tidur.”

Kusulut rokok. “Sepi betul!” ujarku kemudian

Bisri tertawa. “Namanya juga hutan belantara, kalau rame ya pasar. Ikutan main yuk!” ajaknya.

Aku diam saja dan menggeleng. Lagi tak berselera dan duduk sedikit menjauh. Kunikmati sunyinya malam. Hanya terdengar desiran angin dan beberapa suara hewan malam. Langit begitu cerah dan terlihat bulan bersinar dengan terangnya. Beberapa saat kemudian aku tersentak kaget dengan suara keras yang menembus sunyinya malam.

Gubraaaakkk! Suara benda jatuh

Kupandangi Bisri dan Slamet.

“Suara apaan tuh?”

“Nggak tahu ya,” jawab Slamet.

“Sepertinya ada yang jatuh.”

Bisri mengibaskan tangannya tanda tak perduli.

“Ah paling anak kera jatuh dari pohon.”

Aku meraih senter dan berdiri. Slamet memanggilku, “Mau kemana Dan?”

“Mau cari anak kera.” Aku berjalan menjauhi bivak.

“Hey, Dani! Jangan jauh-jauh, belum ada jalan. Ntar nyasar loh!” suara Bisri mengiringiku.

Aku menyenter kesana kemari, terus berjalan. Sinarnya bermain di antara semak dan pepohonan. Ada beberapa binatang malam lari ketakutan karenanya. Langkahku semakin bertambah jauh. Anak kera yang kucari tak kutemukan juga. Mungkin sudah kabur dengan suara langkahku. Udara tambah semakin dingin. Aku memutuskan untuk kembali. Tapi, dari arah mana aku datang sudah tak kelihatan. Semuanya gelap sama sekali. Cahaya api unggun teman teman tak terlihat. Sudah semakin jauhkah aku berjalan? Aku berusaha untuk kembali berdasarkan naluriku. Belok sini, belok sana, lalu kesini. Tapi tak kutemukan juga bivak teman teman.

Aku berjalan dan terus berjalan. Tak kurasakan nyeri di tanganku tergores oleh duri dan semak semak. Tapi tetap saja tak kutemukan teman temanku. Aku mulai cemas setelah berjam jam aku berjalan. Akhirnya aku tertunduk lemas. Barulah aku sadar, sesuatu telah menimpaku. Aku tersesat di tengah dahsyatnya hutan Papua.

Keesokan harinya, saat matahari pagi muncul, aku terbangun dari tidurku yang bersandar batu. Kutenangkan diri dulu untuk berpikir langkah selanjutnya. Kemudian aku mencari pohon yang paling tinggi. Aku naik sampai puncak dan meneliti segala arah. Sedikitpun tak ada tempat yang aku kenali. Semua sama, daun daun, pepohonan dan pepohonan, semua hijau.

Aku harus ketemu dengan teman teman. Aku tak boleh menyerah hanya menunggu nasib di sini berharap segera teman teman menemukanku. Kukumpulkan semua semangatku untuk berjalan. Menerobos semak belukar. Menajamkan mata serta telinga. Tapi sampai hari gelap pun tak kutemukan juga teman temanku. Perut laparnya bukan main. Permen yang kubawa di kantongku sudah habis. Aku mulai mencari daun daun yang bisa kumakan untuk mengganjal perut. Aku sudah tak ingat senterku di mana. Mungkin terjatuh dan baterainyapun sudah habis.

Aku sudah capek berjalan. Ada sedikit tempat untuk aku bisa berbaring. Bulan diatas bersinar dengan terangnya. Ini bulan yang sama yang dilihat oleh kawan kawanku. Mereka pasti sudah mencariku. Saat seperti ini aku teringat Bunda. Bunda yang mengingatkanku sebelum berangkat dengan segala kecemasannya. Apakah aku bisa melihatnya lagi? Ah, aku yakin kawan kawan akan menemukanku. Bisri dan Slamet tahu ke arah mana aku pergi. Aku tak boleh menyerah. Pasti mereka akan menemukanku.

Tapi kenyataannya sudah tiga hari aku tetap tak menemukan tanda tanda kehidupan. Semangatku menipis drastis. Aku ingin menangis tapi kutahan. Lapar dan haus menerjang. Embun dan daun daunan tak dapat lagi mengatasinya. Aku tetap terus berjalan dan berjalan berharap segera menemukan sesuatu. Aku tak kuat lagi berjalan lebih dari sepuluh langkah. Langkah ke sebelas, aku berhenti dan duduk. Berjalan tiga langkah, berhenti lagi, berjalan lagi, berhenti, duduk, berjalan lagi, begitu terus.

Pada malam keempat, aku terperosok ke jurang yang tak begitu dalam. Badanku meluncur ke bawah. Tubuhku terhempas di semak semak dan aku merasakan sakit yang luar biasa di lengan kiriku. Terkilir atau patah aku tak tahu. Aku terbaring di dasar jurang menatap langit. Bulan bersinar dengan terangnya karena bulan purnama. Tapi di dasar jurang ini sangatlah gelap. Sebenarnya jurang ini tidak terlalu dalam. Seandainya tanganku tak sakit dengan sangat mudah aku dapat menaikinya. Tapi sekarang aku hanya bisa pasrah apapun yang terjadi. Seandainya aku harus mati di sini…

Dalam hati aku berucap doa, teringat akan Bunda dan merangkai semua kenangan indah tentang dirinya. Kalau seandainya aku mati di sini, apakah ada orang yang menemukan mayatku? Bagaimana kalau tidak? Akhirnya aku menangis sejadi jadinya. Segala macam kekalutan memenuhi benakku. Kemudian aku melemparkan pandangan ke bibir jurang.

Darahku tersirap!

Ada yang bergerak di bibir jurang. Apakah itu? Gerakan semak-semak yang semakin keras. Hewan ataukah manusia? Ataukah digerakkan oleh angin? Aku tak peduli, yang penting aku menemukan tanda tanda adanya kehidupan.

“Bisri… Slamet…” teriakku dengan sekuat tenaga.

“Aku terperosok ke jurang… Bisri…. Slamet… Mas Luki…” Aku terus menjerit.

Tiba tiba ada sesosok bayangan muncul di bibir jurang. Dengan cekatan merambat, menuruni jurang dan tiba di dasar. Dia berjalan ke arahku. Tubuhnya tegap. Bayangan sinar rembulan samar menerangi wajahnya. Orang ini bukan salah satu dari temanku, tapi siapa? Aku tak mengenalnya sama sekali.

“Maaf, anda siapa Pak?” tanyaku

Dia tak menjawab. Aku tak peduli. Aku sangat lega bertemu orang lain.

“Saya tersesat sudah empat hari. Kawan-kawan saya ada tujuh orang.”

Aku mencoba untuk duduk dan mengaduh ketika tanganku terasa sakit. Orang itu membuka slayernya dan membebat tangan kiriku. Aku merasa lebih baik walaupun tubuhku lemah sekali.

Dia membiarkanku duduk sejenak, kemudian digendongnya aku naik merambati jurang. Kami tiba di bibir jurang. Aku merasa lega sekali. Kemudian kami berjalan tanpa istirahat. Dia tak membawa senter tapi sinar bulan purnama sangat membantu kami. Tangannya yang kuat terus memapahku. Aku tak ingat, berapa kali aku pingsan. Kami terus berjalan dan tanpa berhenti, tanpa bicara sepatah kata pun.

Akhirnya setelah berjam-jam berjalan, aku melihat ada tanda tanda kehidupan. Aku melihat sinar. Ketika semakin dekat, aku beru sadar kalau itu adalah kampung terdekat dulu ketika aku dan teman temanku bermalam. Kampung? Air mataku meleleh. Tubuhku menjadi sangat lemas. Aku tak kuat lagi dan perlahan lahan merosot dari rangkulannya. Samar kurasakan jari jarinya yang dingin. Setelah itu aku tak ingat lagi dan pingsan.

***

Aku selamat. Tersesat setelah empat hari empat malam dan dapat kembali dengan selamat merupakan suatu keajaiban yang luar biasa. Ini hutan yang belum pernah dijamah manusia, bukan gunung tempat biasa anak muda camping. Teman-temanku sudah mengira aku mati. Mereka berusaha mencariku akhirnya menyerah tak berdaya melawan kedahsyatan alam. Dan pada malam keempat aku ditemukan tergeletak di ujung kampung.

“Aku nggak tahu Dani, apa memang kamu belum waktunya mati, di hutan lagi, atau karena ketajaman nalurimu sampai kamu bisa kembali ke sini. Kamu memang luar biasa, kamu pendaki sejati!” kata Mas Luki sambil mengacungkan jempolnya.

Aku menatapnya heran.

“Apa?” tanyaku. “Aku nggak sendirian. Siapa orang kampung yang menolongku?”

Gantian teman temanku menatap heran. Kuceritakan semua sampai aku bisa kembali ke kampung. Mereka menatapku tak percaya. Kutanya lagi siapa orang kampung yang menolongku, tapi mereka malang menganggapku bermimpi.

“Dan, kampung ini kecil sekali. Lima belas orang dari kampung ini membantu kami untuk mencari kamu dan tak satu orang pun menemukanmu. Apalagi membopongmu sampai kemari,” Mas Luki menjelaskan.

“Kamu tahu nggak, kita nggak ada yang berani mencari kami di atas jam enam sore. Karena di sini jam enam sore sudah gelap sekali. Jangan jangan malah dari kami ada yang tersesat lagi,” sambung Slamet.

Sungguh sangat tak bisa kupercaya. Aku teringat sesuatu. Ya, slayer yang digunakan orang itu untuk membebat lengan kiriku. Kutunjukkan slayer itu pada Mas Luki. Ketika aku melihat slayer itu, aku terkejut setengah mati. Darahku tersirap. Yang membungkus lenganku adalah slayer Angkatan Udara dan tertulis nama “Wiryawan Suratmadji”, nama almarhum ayahku.

Papaku meninggal dua puluh tahun yang lalu. Pesawatnya jatuh di Papua dan tak pernah ditemukan. Sungguh sangat susah dinalar tapi orang yang mengambilku dari jurang dan melintasi kampung adalah ayahku. Aku tak percaya tapi mau tak mau aku harus percaya karena aku mengalaminya sendiri. Ternyata setelah dua puluh tahun aku melihat ayahku kembali. Seminggu kemudian, hutan tempat aku tersesat diteliti kembali oleh Angkatan Udara. Tak berselang lama ditemukan bangkai pesawat Angkatan Udara yang hilang, letaknya tak jauh dari jurang tempat aku terperosok. Di dalam pesawat ditemukan tiga kerangka dan tengkorak manusia. Ayah dan kedua rekannya.