Cerpen: Prahara Cinta

Prahara Cinta
oleh: Binu

Hai namaku Sandy. Aku adalah seseorang yang tak peduli dengan perasaan, jatuh cinta atau peduli tentang orang lain. Aku acuh dan ketus. Semua orang hampir sama opininya tentang aku, yaitu aku adalah orang yang sombong. Aku akui diriku memang tak begitu suka dengan puji-pujian maupun sanjungan, aku lebih suka kritikan dan opini tentang aku. Mungkin aku adalah orang yang aneh, tapi jujur aku memang orang yang tak begitu tahu tentang logika orang-orang sekitarku. Mereka seperti tak menganggap diriku ada di sekitar mereka.

Saat itu aku masih berumur 9 tahun, aku terkena penyakit asma. Setiap aku menghirup udara kotor, dadaku terasa sesak dan aliran nafasku seperti tersengal-sengal. Bagi anak seumuranku penyakit asma adalah hal yang tidak wajar. Karena itu dapat mengganggu sistem fisik yang sedang tumbuh dan berkembang. Saat itu aku sedang mengikuti kegiatan ekstra di sekolah, tiba-tiba segerombol anak datang menghampiriku, mereka mengambil alat pernafasanku sambil melempar-lemparkannya ke teman yang satu ke yang lain. Aku berusaha meminta namun gagal, bahkan aku sampai berlari-lari mengejarnya, namun tetap saja gagal bahkan nafasku sulit ku atur sehingga aku terjatuh dan pingsan. Mulai saat itu aku jadi benci dengan orang dan tak mau berkomunikasi dengan orang lain sampai 3 tahun, aku diterapi. Terapi itu sempat memancing suaraku yang selama itu hilang muncul kembali. Namun beberapa bulan kemudian aku kembali mengalami trauma itu sampai pada umurku 14 tahun. Pada waktu umurku 14 tahun, aku diikutkan terapi lagi bagi anak yang sulit bicara. Dari kecil aku seperti tidak mengenal sekolah, karena aku tumbuh tidak normal layaknya anak anak seumuranku. Namun saat aku berumur 12 tahun aku sempat bersekolah di SLB Malang, sampai umurku 14 tahun itu. Aku mulai belajar bicara pada usia 15 tahun dan umur 16 tahun aku baru bisa bicara layaknya anak anak seumuranku. Aku begitu senang namun begitu aku tak banyak berubah seperti sebelum ikut terapi kedua saat itu.

Waktu berganti tahun aku berumur 17 tahun, aku bertemu dengan seorang teman bernama Dean Arga. Dia adalah satu satunya teman yang aku punyai saat itu setelah aku pindah dari SLB dan bersekolah di SMA Negeri 2 Malang. Awal aku bersekolah di sana aku merasa minder namun begitu aku mengenal Dean, aku jadi merasa minderku agak berkurang. Untuk itu aku sering menghabiskan waktu dengannya. Selain itu Dean adalah anak yang pandai nomer 2 di kelasku. Dia sering memberiku motivasi agar aku tidak minder. Dua tahun aku berteman dengan Dean dan kini aku sudah kelas 3, dan dua tahun pula aku bersama dengan yang lainnya. Hingga aku benar benar jatuh cinta dengan Dean. Saat itu Dean memang tidak mengetahui bahwa aku suka dengannya, karena aku tidak mau dia tahu dan pergi meninggalkan aku. Aku hanya memendamnya.

Selang beberapa bulan, Dean mengetahui perubahan sikapku. Aku jadi semakin menjauh. Dia tak terima dengan sikapku, kemudian marah dan pergi meninggalkanku. Saat itu aku hancur dan mencoba meminta maaf namun gagal. Dia tidak mau memaafkanku. Sampai beberapa hari kemudian musibah datang menimpaku. Sebuah mobil sedan hitam menghantamku saat aku berusaha mengejar Dean untuk mencoba meminta maaf. Dia mungkin terkejut karena sebelum aku pingsan aku sempat merasa kalau Dean memikul aku masuk ke dalam mobil sedan yang menabrakku dan mengantarku ke rumah sakit.

Aku tak tahu sudah berapa hari aku dirawat di rumah sakit. Saat itu aku merasa di dimensi lain, aku melihat hamparan tanah yang hijau dan beberapa anak memanggilku untuk bermain. Saat aku melangkahkan kaki, tiba tiba Dean dari belakang menarik lenganku dan mengajakku menjauh dari anak-anak itu. Wajah anak-anak itu menunjukkan kekecewaannya. Namun begitu secercah cahaya menghampiriku dan Dean. Aku tersadar dari komaku.

Aku sempat merasa detak jantungku berhenti, namun setelah itu aku sadar dari komaku. Aku melihat ayah dan bundaku yang masih menungguku di pinggir tempat tidur. Kucoba menoleh ke samping kanan, ada Dean yang memegang tanganku sambil lelap tidur. Entah apa yang aku rasa saat aku melihat dia menemaniku saat itu. Gerakan lemah tanganku membuatnya terbangun dari tidur. Ayah dan bundaku juga ikut terbangun. Mereka semua nampak bahagia melihatku sadar dan siuman. Sewaktu aku menanyakan sejak kapan aku dirawat di rumah sakit, kedua orang tuaku bilang sejak 13 hari yang lalu. Ternyata aku sudah lama tinggal di rumah sakit. Saat aku ingin bangun kaki kiriku terasa lemah dan tak bisa digerakkan, aku mencoba membuka selimut penutupnya dan ternyata kakiku penuh dengan perban. Aku menangis sejadi jadinya. Sedangkan ayah bundaku tidak bisa berbuat apa apa hanya kata sabar yang terucap dari bibir mereka. Aku hancur, putus asa dan hilang semua harapanku. Aku telah cacat.

Beberapa hari kemudian aku sudah diijinkan pulang oleh dokter. Ayah dan bundaku mengiringiku saat Dean medorong kursi rodaku dan membantuku masuk rumah. Saat itu semuanya berubah, akhirnya Dean mengutarakan isi hatinya padaku saat harapan dan impianku sudah musnah. Namun hatiku sudah hancur, aku mengusirnya dari rumah dan melarangnya kembali. Aku benci dia… aku benci dia. Mulai saat itu, aku tak pernah bertemu dengan dia lagi, hampir dua bulan aku tak bertemu, di sekolah pun aku juga tak melihatnya. Dalam hati aku bertanya apa sampai segitunya Dean membenciku. Terakhir aku dengar kabar dia sedang sakit, tapi aku tak tahu dia sakit apa, setahuku selama ini dia hanya punya penyakit pusing. Entah apa yang membuatku merindukannya, sedang dulu aku kecelakaan karena aku hanya ingin meminta maaf dengannya. Namun dia menolaknya, sehingga kini aku cacat. Keinginanku hanya satu menemui orang tua Dean. Sore hari yang mendung aku nekat pergi ke rumah Dean.

Jantungku saat itu terasa berhenti dan urat nadiku terasa terpotong paksa. Ternyata orang yang selama ini dekat denganku yang aku cinta, kini hanya tinggal kenangan saja, hanya tinggal nama, karena orang itu (Dean) kini telah berada di alam yang berbeda, dia telah menghadap Sang Khaliq, karena dia tak kuat menahan rasa sakit di kepalanya akibat kanker otak. Dean meninggal lima hari yang lalu dan aku tak tahu dan keluarganyapun menyembunyikan berita itu. Orang tua Dean hanya memberi tahuku di mana makam Dean dan memberiku sekotak kado besar yang isinya semua barang milik Dean. Di sana tertera namaku dan Dean serta tanggal 21 Nopember 2003. Aku kaget setelah ditambah secarik surat berwarna biru muda ditanganku yang isinya :

Dear : Sandy

Kuharap ini bukanlah akhir aku melihatmu, dan melihat semua waktu yang telah kita lalui bersama. Aku tahu umur bukanlah aku yang mengukur dan waktu yang akan tiba nanti bukan jaga keinginanku. Aku minta maaf sama kamu apabila aku telah membawamu ke duniaku yang hampa, itu dulu saat kamu belum ada di dalam hari-hariku. Namun sekarang engkau akan selalu ada dalam hatiku. Mungkin aku telah salah sama kamu, karena membiarkanmu menjauh dariku, hanya karena kamu tak ingin aku mengetahui perasaan kamu yang sebenarnya. Jujur sejak maupun sebelum kamu menjauhiku, aku sudah merasa yakin bahwa kamu memiliki perasaan padaku. Namun aku pura pura tidak mengetahuinya. Aku malah berbalik menyalahkanmu karena kamu selalu menghindariku. Dengan alasan itulah aku bisa membuatmu sedikit merasa bersalah padaku dan membuatmu selalu dekat denganku. Namun aku tak menyangka, kecelakaan tragis itu membuat kamu kehilangan sebelah kakimu yang normal dan membuatmu membenci diriku lalu mengusirku. Saat itu aku merasa bersalah padamu. Aku malu bertemu denganmu, hingga akhirnya aku menghilang. Sebulan setelah itu, aku sudah merasakan detik-detik terakhir hampir dekat dan aku sengaja menuliskan ini padamu dan membuat foto kita berdua yang ada nama kita berdua lengkap dengan tanggalnya yaitu 21 Nopember 2003. Itu adalah hari saat aku mengungapkan perasaanku padamu dan sekarang aku akan pergi mendahului kamu, aku minta maaf karena mungkin sudah sangat parah kondisiku. Aku mengucapkan terima kasih yang sebesarnya karena dirimu aku punya semangat untuk hidup. Maafkan aku yang telah buat kakimu cedera. MAAF SELAMAT TINGGAL SANDYKU YANG MANIS.

Yang mencintaimu,

DEAN ERGA

Aku tak menyangka ternyata selama ini aku telah salah besar dengan Dean. Ternyata Dean itu baik namun karena penyakitnya tersebut Dean sengaja menjadi anak yang bandel dan egois. Seketika itu air mataku tak dapat terbendung lagi, aku tak kuasa menahan segala rasa. Aku menyesal karena saat aku mengusirnya dulu ternyata saat itu juga aku terakhir melihat Dean dan untuk selamanya. Sesalku tak dapat aku tanggungkan. Aku jatuh sakit dan kondisi tubuhku memburuk. Terpaksa kedua orangtuaku membawaku ke rumah sakit. Pada saat itulah aku jadi tak percaya cinta dan tidakkan jatuh cinta. Karena cinta hidupku sengsara. Sakit rasanya kehilangan orang yang kita cinta. Aku tak inginkan itu lagi, sekarang aku menutup diriku untuk orang lain, aku jadi banyak diam dan menyendiri. Waktu terus berjalan seiring dengan perubahan dalm diriku. Awalnya kedua orang tuaku khawatir, takut kalau kejadian 6 tahun lalu terulang kembali. Beruntung aku menyakinkan ayah bundaku bahwa itu takkan terulang kembali kini, mereka jadi terbiasa. Aku jadi sulit bergaul dan berhubungan dengan masyarakat luar. Sebagian besar waktuku hanya aku habiskan di sekolah dan kamar. Sekarang 90% sikapku kini berubah total, aku jadi lebih banyak menyendiri, jutek, ketus, dan tak ingin tahu orang lain sama orang lain juga tak ingin mengenalku.

Dua tahun kemudian aku masuk kuliah di universitas terkemuka di Jakarta. Satu tahun yang lalu keluargaku pindah ke Jakarta karena tuntutan pekerjaan, kini mereka tinggal bersamaku di sini. Kini aku bisa berkumpul dengan kedua orangtuaku kembali. Aku di universitas tersebut mengambil jurusan kesenian karena menurutku jurusan itu bisa membuatku lebih memahami seni di berbagai kehidupan, termasuk kehidupan masa lampau, sekarang dan yang akan datang. Aku senang kehidupanku sekarang lebih baik dibanding dulu. Aku jadi tak lagi merepotkan semua orang.

Dua tahun kemudian, aku sudah menjadi seseorang yang sukses yaitu aku menjadi seniman terkenal sekaligus menjadi penasehat direktur yang terkemuka di Jakarta. Ini semua berkat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan-Nya kapadaku, dan berkat bimbingan kedua orangtuaku. Aku sekarang tak lagi kekurangan dan hidup terjamin namun hanya satu yang tak kupunyai yaitu……

Dan aku hanya pasrah pada-Nya semoga dia membukakan pintu hatiku yang hampa karena lukaku dulu. Amin.

Read More......

Novel: Pencari Harta Karun


Pencari Harta Karun
oleh: Agnes Jessica

Sinopsis:

Ketika seseorang dihadapkan pada keputusasaan, di batas terakhir ia akan menyerah. Demikian pula dengan Jamal, pemuda sederhana yang mendambakan cinta. Namun, di saat ia hampir menyerah dan mengakhiri hidup, seseorang memberitahukannya sebuah rahasia untuk mendapatkan harta karun.

Dengan rahasia itu Jamal berusaha menaklukkan kesengsaraan hidup yang selalu membayangi nasib keluarganya. Ia menemukan kekayaan dan kesuksesan yang diimpikannya selama ini. Rahasia itu juga membawanya menemukan cinta yang selama ini dicarinya. Dan di dalam perjalanannya, ia menemukan harta karun terbesar, lebih dari apa yang didambanya selama ini.



Read More......

TeenLit: Brondong Lover

Brondong Lover
oleh: Stephanie Zen

Sinopsis:

Nasha sebel banget sama juniornya yang nyolot, Dave. Sejak hari pertama MOS, Dave kerjanya terus membantah apa pun kata Nasha dan ogah untuk bekerja sama dalam kegiatan kelasnya. Tapi, pas Nasha berantem sama mantannya yang supernyebelin, Kevin, si nyolot Dave ternyata membelanya! Begitu pula pas Nasha terjatuh hingga terkilir di kemping penutupan MOS, Dave ngebela-belain menggendong Nasha sampai tenda. U-ui... apakah ada cinta yang mulai bersemi di hati Nasha? Bagaimana dengan hubungannya yang belum beres sama Kevin? Dan bagaimana juga dengan perhatian berlebih dari Kak Elang yang sudah kuliah?


Read More......

Cerpen: Mungkin Berakhir Indah

Mungkin Berakhir Indah
oleh: Meimei

Semenjak lulus SMA, saat itu usiaku delapan belas tahun, sikapku semakin tidak karuan. Apalagi ketika aku melanjutkan di bangku kuliah, ada saja perbuatanku yang tidak disukai oleh kaum Hawa. Teman-teman di kampus memberiku julukan si Mulut Buaya. Maklumlah, di tempatku kuliah hanya aku saja yang paling banyak diminati oleh gadis-gadis di kampus. Aku sangat bangga bahkan menjadi angkuh karena ketampananku. Badanku tinggi dan berisi bahkan mulai berotot seperti Ade Rai. Aku juga punya harta yang tujuh turunan tak akan habis. Aku juga disegani oleh teman-teman bahkan dosen di sana. Ya, jelas saja. Aku ini anak seorang pejabat negara.

Namun, ada satu gadis yang menurutku dia biasa saja. Kadang-kadang terlihat manis. Dia sangat membuatku kesal. Dia pernah menantangku dan tak ada rasa takut melawanku. Oh… mau cari mati dia, pikirku menantang.

Namanya, Linda. Dia perantau dari Bangka. Tidak cantik, tetapi cukup berani. Linda teman sekelasku. Dari semester satu sampai semester delapan saat ini, aku masih sekelas bersamanya. Kami selalu saja tidak pernah akur. Perdebatan sering terjadi. Tidak ada kata titik. Selalu saja tidak ada akhirnya. Sama-sama keras kepala.

Di kelas, aku dan Linda disebut sebagai Tom and Jerry. Seperti tikus dan kucing saja tiap hari bertengkar. Di suatu hari, entah hari apa, aku tak mendapat Linda masuk kelas. Mungkin dia tidak masuk hari ini. Dia sakit? Dia bolos? Dia mendapat hukuman? Ah… pertanyaan ini sering kali terlintas dalam benakku. Mengapa aku begitu khawatir?

Begitulah diriku, tidak mau menyadari kalau aku…

* * *

Di lain hari.

Linda berhasil menjadi ketua kelas. Aku menjadi sangat benci padanya. Aku kalah! Ah, itu tidak akan terjadi. Urusan sepele melawan dia! Dengan jurus bualanku, dia pasti akan tertarik padaku, dan akan masuk dalam perangkapku. Perangkap tikus, kataku dalam hati.

Wanita mana yang tidak akan tertarik padaku. Punya mobil kelas dunia yang hanya satu di Indonesia, wajahku tampan lebih dari seorang pangeran Inggris, pikirku membanggakan diri.

Sewaktu masih semester satu, aku pernah berpacaran dengan Lisa. Dia seorang model majalah terkenal. Cantik. Anak orang kaya. Berpenampilan menarik. Kemudian, aku putuskan hubungan dengannnya, hanya sebulan kita pacaran. Dia masih sakit hati sampai sekarang.

Lalu aku pacari lagi anak seorang angkatan darat. Namanya, Mona. Cantik dan feminin. Lagi-lagi aku memutuskan hubungan. Hanya sebulan pacaran. Kemudian, Shinta, seorang artis terkenal di Indonesia. Muda dan anggun. Aku pacari juga. Ya, hanya sebulan kita pacaran!

Lisa, Mona, Shinta, dan masih banyak lagi, mugkin sudah puluhan. Mereka adalah mantan pacarku di kampus, atau bisa disebut korban cintaku. Sakit hati. Wajarlah, hanya sebulan aku berhubungan kemudian aku putuskan! Selesai, ungkap diriku dalam hati.

Hanya dengan modal tampang keren dan ganteng. Bawa mobil pribadi, dan punya uang yang banyak, gadis-gadis di kampus berbondong mendaftarkan diri menjadi pacarku. Bahkan tidak hanya di kampus saja, di luar kampus juga banyak. Bukan salahku! Itu pilihan mereka!

Kupacari teman wanita di kampus, lalu kuputuskan. Kupacari lagi wanita lain di luar kampus kemudian kuputuskan, begitu seterusnya.

Tidak sedikit mantan pacarku yang sakit hati. Ada yang mencoba membunuhku, menamparku, bahkan melaporkan aku ke kantor polisi karena aku dianggap telah berbuat tidak senonoh terhadapnya. Ah, ada-ada saja, ketus hatiku.

“Sudah cukup kamu menyakiti hati mereka! Apa belum puas juga kamu!” Linda menggertak.

Tersentak aku kaget dari lamunanku yang membuatku merasa bangga ketika aku sedang bersantai di bangku kantin. Orang-orang di kantin juga memperhatikan Linda termasuk aku.

“He! Ngapain juga kamu ikut campur urusanku?”

“Aku tahu kamu tampan, ganteng, kaya, dan punya segalanya. Tapi hatimu busuk!”

“Apa kamu bilang? Enak saja kamu menghina aku!” Aku marah sambil bertolak pinggang.

“Itu kata-kata yang pantas kamu terima!”

Linda kemudian pergi dengan wajah sinisnya.

“Uh, dasar perempuan aneh!”

Mengapa Linda berkata kasar seperti itu? Apa aku punya salah padanya? Ya… sudahlah! Lalu aku pergi meninggalkan kantin di belakang kampusku, karena malu dipermalukan di depan teman-temanku.

Namun, aku juga tidak terima penghinaannya. Betul-betul keterlaluan!

“Sialan tuh anak, awas kalau bertemu nanti! Aku akan membalasnya!” sambil melotot menahan marah dan kesal.

Akhirnya, dengan perasaan penuh kesal aku tancap gas motorku dengan kencang. Menuju rumahku. Lampu merah aku terobos. Untung tidak ada polisi. Namun, di pinggir jalan kulihat Linda barjalan kaki sendiri. Entah mau kemana. Ah, kesempatanku memberi pelajaran padanya, bisikku penuh emosi.

Baru akan meminggirkan motorku ke trotoar, tiba-tiba mobil dari belakang menabrakku dengan kencang. Brak!! Suaranya seperti barang yang terjatuh dari lantai enam. Apa aku akan mati?

Aku melihat ada taman yang indah dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni. Kulihat banyak kerumunan orang memakai baju putih tanpa lengan. Kulihat juga di sekeliling taman ada beberapa gadis cantik yang kukenal. Itu seperti, Lola, Anna, Firda, dan Sonia. Bukankah mereka sudah meninggal secara tragis karena bunuh diri? Ya… sejak aku putuskan tali cinta yang waktu itu terbina. Sejahat itukah diriku? Hingga membiarkan hati mereka hancur sampai mati.

Mereka berempat tersenyum padaku. Mereka membawaku berkeliling taman. Hingga mereka menunjukkan sesuatu berupa cahaya putih menyilaukan. Aku mendekati. Kulihat ke bawah, dan betapa kagetnya aku. Kulihat seorang pria terkapar di ruang operasi dengan tubuh penuh jahitan. Masih basah. Hidungnya terpasang selang oksigen, kaki dan tangannya diperban. Oh… itu diriku! Kulihat di sampingnya ada seorang gadis yang kukenal. Itu Linda! Aku memanggil-manggil namanya beberapa kali. Dia tak mendengar. Aku pasrah. Aku juga ingin meminta maaf karena diam-diam aku benar-benar jatuh cinta padanya. Ketika pertama masuk di bangku kuliah, semester satu. Aku memang sudah curi-curi pandang dirinya. Walau banyak gadis cantik, aku tak menaruh perasaan. Jantungku berdebar-debar. Dag-Dig-Dug. Sangat terasa menembus aliran darahku.

Saat itu, aku mencintai seorang gadis untuk pertama kalinya. Namun, dia tak menyambut cintaku. Ataukah memang dia tak mengerti apa yang kurasa? Karena itulah aku jadi galau. Hatiku ingin melampiaskan rasa sakit hatiku kepada semua gadis-gadis yang ada di kampus.

“Maafkan aku, Lola,” aku memelas. “Maafkan aku, Anna, maafkan aku, Firda,” desahku lirih. “Maafkan aku, pula Sonia,” aku menangis.

Tiba-tiba mereka membawaku lagi ke tempat yang penuh dengan cahaya putih berkilauan. Mereka mendorongku.

“Maafkan aku, Damar. Sejujurnya aku sangat menyayangimu. Namun, aku sadar bahwa aku bukan siapa-siapa di matamu. Aku hanyalah gadis kampung yang liar. Tidak sepadan denganmu yang tampan dan kaya. Maafkan pula kata-kataku tadi siang,” Linda menangis memegang tanganku, lalu mencium keningku.

Aku mendengar kata-katanya serta aku merasakan kecupannya yang begitu penuh kasih sayang.

“Ah,” mulutku seolah ingin berkata.

Aku tidak bisa membuka mataku. Tubuhku sakit semua. Hancur dan retak seperti tertindih pohon besar.

Tiada berdaya kudengar isak tangis orang yang kusayang. Linda. Maafkan aku. Hatiku memendam rasa bersalah. Kucoba membuka mata ini. Aku berhasil membuka mata ini. Kulihat Linda di sampingku sambil memegang tanganku. Air matanya mengalir terus- menerus.

Aku mencoba berkata-kata walau sungguh sakit.

“Ma…, ma…,” kata-kataku terpotong-potong. “Ma… af…, maafkan…, aku…,” ucapku terbata-bata. “Aku…, mencintaimu!”

Kali ini air mata Linda mengalir lebih deras. Ia menangis. Aku pun menangis.

“Aku juga mencintaimu dan aku akan menjagamu dengan kasih sayangku,” balas Linda terisak-isak.

“Terima…, kasih…,” aku memejamkan mata.

Tiba-tiba tubuhku melayang ke udara. Kulihat Linda menangis histeris. Keluargaku baru datang. Sudah terlambat!

Kini, aku ditemani oleh empat orang bidadari. Lola, Anna, Firda, dan Sonia. Mereka menemaniku di sini. Di tempat seharusnya aku berada.

Read More......

TeenLit: Imajinatta

Imajinatta
oleh: Mia Arsjad

Sinopsis:

Natta sukaaa dan gampaaang banget ngelamun alias berimajinasi. Dan hobinya itu jelas berguna. Gimana nggak, sementara di alam nyata Natta belum kenal secara resmi sama Ditto, kecengannya sepanjang masa, di alam khayalan dia dan Ditto malah udah selengket lem Super Glue. Dan itu jelas jadi pemicu semangat Natta buat mewujudkan mimpi jadi nyata. Pokoknya nggak peduli aral melintang deh... kalo cuma si genit (cantik dan kaya) Sasa mah keciiiiil. Temen-temen segengnya, tentu mendukung Natta, tanpa lupa untuk mengingatkan kalau ambisinya itu bak mencari jarum dalam sekam.

Temenan sama geng nya itu memang asyik, tetapi Natta kadang pengen punya waktu sendiri. Jadilah, dia sering pergi ke sebuah taman dan duduk sambil berkhayal. Suatu ketika, tempat favoritnya itu ada yang nempatin, seorang cowok kurus pucat yang akhirnya temenan sama Natta. Mereka tambah akrab ketika ada lomba penulisan naskah di sekolah Natta. Kenzi, si cowok pucat, banyak ngebantu Natta bikin naskah. Sampai akhirnya, naskah Natta menang, dan ia punya kesempatan dekat dengan Ditto. Berhasilkan Natta menjadi pacar Ditto? Kenapa juga Natta belum mau ngenalin Kenzi ke temen-temennya? Apa Natta hanya berkhayal? Cerita tentang pertemanan dan hubungan keluarga ala Imajinatta memang sebuah cerita sederhana. Tapi dipandu gaya bertutur ala Mia Arsjad, kesederhanaan ini bisa mengharukan.



Read More......

Cerpen: Pelangi Di Hati Tia

Pelangi Di Hati Tia
oleh: Taufik Rinaldi & Peri Umar Farouk

Hari beranjak senja. Matahari masih menyinarkan kehangatan dan mengintip malu di sela-sela daun cemara di halaman rumah. Angin berhembus dan menciptakan nyanyian di genta angin kamar Tia. Ah, senja ini ternyata tak cukup sejuk buat meredakan gelisah gadis manis ini. Kegelisahan yang meerindukan ketenangan. “Dialog batin yang panjang ini ternyata tak juga menghapus keraguanku. Aku tersesat dalam hutan kegelisahan ini.” benak tia berkata. Entah sudah berapa buku dan majalah di bolak-balik si Hati Lembut ini –demikian teman-teman di kelas menjuluki Tia- demi menguapnya kesal dan resah.

Permasalahannya sederhana saja sebetulnya. Rina sahabat dekatnya, dengan sepenuh harap meminta Tia merelakan jawaban ulangan kimianya untuk disalin pada kertas jawaban Rina yang masih putih bersih.

“Aku gak sempat belajar, Tia.” Aku Rina, ”Kevin Costner merayuku untuk lihat JFK-nya tadi malam.” seperti biasa, Rina jagonya bikin alasan.

“Sekali ini nggak bisa, Rin!” elak Tia sambil menjaga agar bola mata pak guru tidak menempel dimejanya. “Ayo, cobalah semampumu!” lanjut Tia terus mencorat-coret di kertas hitungnya. Dalam hatinya, ia terkejut merasakan ketegaannya.

Rina ternyata kumat ngambeknya. Ketika lonceng pulang berdering, langsung saja Rina beranjak dari bangkunya dengan tak lupa meninggalkan wajah kanibalnya untuk Tia. Tia berusaha menggapai bahu Rina. Terus terang, Tia memang paling tidak suka kisruh dengan siapapun, apalagi Rina, teman yang sudah tiga tahun diakrabinya, yang giat mengacak-acak kamar tidurnya dengan alasan belajar bersama, ngerumpi, saling menceritakan nostalgia, de-el-el.

Kepulan asap bis kota yang membawa sosok Rina menambah kerut di kening Tia. “Ah, terkadang sulit memaknai persahabatan.” ungkap batinnya sambil menatap bis kota yang tinggal sepotong di tikungan jalan.

Terbayang di matanya saat Tanti menceramahinya di kantin sekolah, “Kamu terlalu mengalah, Tia. Selalu saja kamu mengumbar maaf bila Rina membuat kesalmu.” tanpa menunggu reaksi Tia, Tanti terus saja berkata-kata, ”Sebagai manusia, kamu berhak untuk memarahi dan menujukkan kesalahan-kesalahan Rina. Atau kamu ingin jadi malaikat?”

Tia menutup jendela kamarnya, agaknya angin tak ramah lagi kepadanya. Angin mungkin telah mengutuk keraguannya. Segumpal tanya menyeretnya untuk duduk kembali di meja belajarnya, kemudian dia membolak-balik album yang memuat foto-foto saat mereka, Tia dan Rina berlibur di desa tempat nenek Rina tinggal. Tampak gambar Rina ketika menatap jauh pesawahan dengan mata kosong. Yah, kosong dan hampa memang latar belakang kehidupan sahabatnya itu. Orang tua Rina telah membiarkan hari-hari manis Rina lewat begitu saja. Mereka sibuk entah mengejar apa. Kenyataannya hati Rina senantiasa menggigil tanpa kehangatan. Perasannya telah menjadi pikun sebelum waktunya.

“Bagaimana mungkin aku memarahi dan membiarkan Rina melewati hari tanpa seorang sahabat?” getar suara Tia menembus pengertian Tanti saat pulang sekolah, “Sebagai sahabat, aku merasa berkewajiban untuk melerai resah hatinya , Ti. Pengalaman telah membuktikan, bila aku marah, Rina akan kehilangan pegangan. Aku belum bisa membuat dia mengerti, bahwa kasih sayang tidak melulu harus diungkapkan dengan puji-pujian. Aku takut persahabatan hanyalah nonsense baginya!”

Tanti hanya bisa mengangguk-angguk mencoba memahami gadis manis si lembut hati ini. Tapi di dalam hatinya, Tanti merasa ada yang salah pada Tia. Entah apa.

Bulir-bulir hujan sore ini menyentak Tia dari lamunannya yang berkepanjangan. Tetes demi tetes hujan berciuman dengan akar pepohonan. Hujan ini memang lebih membawa keindahan dalam dinginnya. Hanya itu sajakah? Tidak! Hujan ini juga telah mengurai tanya di benak Tia satu persatu. Kabut yang menggumpal pekat justru menguak tabir keresahan dalam hatinya. Dingin dan basahnya perlahan mengkristalkan sebentuk kepastian. Ya, kepastian sikap.

Tia sadar kini, seperti kata Tanti, dia terlalu memanjakan Rina. Membiarkan dan memaafkan ulah Rina yang membuat sedih hatinya bukanlah kasih sayang yang sebenarnya, tetapi rasa kasihan dengan terlalu perhitungan, perasaan rapuh yang membangkitkan kebimbangan. Rina sering membatalkan janji-janjinya hanya untuk memuaskan hobi nontonnya yang kelewatan. Belum lagi ucapan tolong ini-tolong itu yang acapkali membuat Tia kewalahan. Tapi walau Tia telah membantunya dengan ikhlas, masih ada saja cacat cela yang dialamatkan Rina pada hasil kerja Tia. Selama ini kalau Tia berlapang dada pada Rina, itu karena Tia merasa takut membuat Rina bersedih, apalagi ortu Rina tak pernah punya waktu untuk menampung keluhan-keluhannya. Tapi itu tidak bisa diteruskan. Maaf dan lapang dada Tia justru membuat Rina tenggelam dalam kemanjaan dan lupa memperbaiki dirinya. Selain itu Rina menjadi begitu tergantung pada Tia.

“Sesekali aku harus bisa memarahinya, demi Tuhan, bukan untuk kepuasan emosiku, namun agar Rina tahu kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya.” Tia bergumam, “Biar saja Rina marah karena tak kuberi jawaban ulangan siang tadi, Insya Alloh dia mengerti dan mau menunda hobi layar lebarnya untuk memperhatikan pelajarannya.”

Senyum Tia mengembang. Dia lega sekarang. Apa yang diperbuatnya tadi di kelas adalah untuk kebaikan Rina. Sungguh segar keyakinan itu merasuk dalam dirinya. “Terima kasih Tuhan. Kau telah memantapkan hatiku dalam ketulusan!”

Pelangi di hati Tia telah kembali cemerlang, kabut gelisah dan ragu telah menguap oleh cahaya matahari kesadaran. Tuhan telah menerbitkan matahari itu untuknya. Dirapikannya meja belajar dan rak buku yang awut-awutan. Dalam hati Tia berdoa agar Tuhan memberi sebentuk pengertian kepada Rina, kawan centilnya itu.

“Tia, ada temanmu di luar sana!” seru tante Tia yang telah dua hari ini berlibur di rumahnya. Tia menghentikan kegiatan sapu bersihnya, lantas merapikan jilbab yang dikenakannya.

“Siapa hujan-hujan begini datang, dan mau apa?” bisik Tia sambil bergegas menuju ruang tamu. Tia terkejut, terharu. Di teras rumah berdiri menggigil seorang gadis dengan pakaian dan jilbab yang basah kuyup. Hujan telah memeluk erat gadis itu. Tia tak kuasa menahan air mata gembira yang tanpa pamit turun dari sudut mata beningnya. Bibir pucat itu berujar, "Maafkan aku, Tia!”

Bibir itu milik Rina.

Read More......

Cerpen: Menggapai Merah Putihku

Menggapai Merah Putihku
oleh: Tias Eka

Namaku Surya Prakoso atau biasa dipanggil Ako usiaku kini 21 tahun dan aku adalah seorang mahasiswa tingkat 3 fakultas ilmu komputer jurusan sistem informasi. Suatu kebanggaan untukku karena sebagai seorang anak tukang sayur aku bisa menikmati bangku kuliah. Aku sangat bangga dengan kedua orang tuaku meskipun hanya berjualan sayur tidak menyulutkan semangat mereka untuk mendidik anak–anaknya. Mereka memang pekerja keras aku tak mau menyia–nyiakan kesempatan yang telah Tuhan berikan padaku. Aku tidak mau main–main dalam kuliah ku. Orang tuaku selalu berpesan agar aku serius dalam menjalani kuliah agar nantinya aku mempunyai bekal ilmu dan kehidupan yang lebih baik dari mereka.

Pagi ini pukul 03.00 WIB langit masih gelap, hanya semilir angin dan suara jangkrik yang bersautan. Seperti hari–hari sebelumnya aku membantu kedua orang tuaku yang sedang bersiap–siap untuk pergi ke pasar induk untuk membeli sayur mayur segar yang nantinya akan dijual kembali. Ya kami memang harus selalu bangun sepagi ini karena pukul 06.00 WIB warung kami harus sudah dibuka.

“Ko, nanti jangan lupa sepulang kuliah ke rumah Pakli’ dulu ya,” ucap Bapakku

“Memang Pakli’ sudah pulang Pak??” tanyaku.

“Sudah, kemarin sore. Kamu disuruh ke sana buat mengambil oleh–oleh, trus bilang sama Pakli’ dan Bulek mu, Bapak dan Ibu belum bisa ke sana, mungkin minggu depan,” ucap ayahku.

“Oya, salam dari Bapak dan Ibu,” ucap Ibuku menambahkan.

“Ya udah, Bapak dan Ibu berangkat dulu ke pasar bersihkan warung ya,” ucap Ibu.

“Iya Bu,” ucapku.

Aku menarik napas panjang udara pagi langsung menyergap seluruh tubuhku. Rasanya segar sekali karena belum terkontaminasi oleh polusi udara. Kedua orang tuaku sudah berangkat menuju pasar induk dengan motor tua milik ayahku. Motor itu kelihatannya memang sudah tidak bagus lagi tapi kehadirannya sangat membantu keluarga kami. Aku menunggu mereka sambil membersihkan warung dengan ditemani adikku Wina yang baru duduk di bangku SMA. Koko adik bungsuku yang saat ini masih duduk di bangku sekolah dasar masih tertidur lelap di kamar. Warung sayurku ini memang bisa dibilang sangat laris karena kami menjual berbagai macam sayur, bumbu–bumbu masakan juga lauk pauknya dan warung kami ini juga selalu menjual sayuran yang segar.

Suatu hari nanti aku ingin sekali membalas jasa mereka mungkin dengan memberikan mereka warung yang lebih bagus sehingga tidak kalah bersaing dengan pasar modern. Kedua orang tuaku sudah tiba di rumah dan dengan sigap aku dan adikku Wina membantu mereka menyusun sayur–sayur itu di warung. Jam sudah menunjukan pukul 04.30 WIB setelah menyelesaikan tugasku, aku bergegas untuk melakukan ibadah. Ibuku membangunkan Koko adik bungsuku untuk segera bersiap–siap untuk pergi sekolah. Nampaknya hari ini adalah hari yang istimewa baginya karena untuk pertama kalinya dia mendapat tugas untuk menjadi petugas upacara sebagai pembaca UUD 1945.

Aku masih ingat ketika aku bertanya kepadanya kenapa dia harus upacara setiap hari Senin dan kenapa semua anak di sekolah harus hormat kepada bendera merah putih? Dan dengan lugu dia menjawab dia harus upacara dan harus hormat kepada bendera merah putih karena Koko tidak mau perang lagi dan karena Koko tahu kalau buat bendera itu susah. Haha, aku tertawa mendengar penjelasan Koko. Tapi aku selalu bangga padanya karena dia selalu antusias bila upacara, apalagi kali ini dia ditugaskan untuk membacakan UUD 1945. Meskipun usianya baru 8 tahun Koko sudah pintar membaca dengan suara lantang, makanya dia terpilih sebagai petugas upacara pagi ini.

“ Mas, gimana penampilan Koko?” tanya adikku sambil mematut–matutkan dirinya di cermin.

“Wah gagah banget kamu,” ucapku.

Memang setiap patugas upacara wajib mengenakan seragam khusus untuk petugas upacara lengkap dengan semua atributnya.

“Gagah mana Koko apa Kakek?” tanya Koko sambil menunjuk foto kakekku di dinding. Pada foto itu kakek memang terlihat sangat gagah dengan seragam tentaranya. Beliau adalah salah satu pejuang yang juga pernah merasakan perang melawan penjajah. Tapi sayang Koko belum sempat melihatnya, beliau sudah meninggal 10 tahun yang lalu.

“Sama gagahnya!” jawab Wina, adikku.

“Koko mau jadi tentara seperti Kakek,” ucap Koko.

“Bisa, tapi kamu harus pintar dan kuat,” ucap Wina.

“Iya benar, kamu juga harus patuh sama Bapak dan Ibu,” ucapku.

“Ah.. Gampang,” jawab Koko sambil memandang foto Kakek.

“Memang Mbak Wina mau jadi apa?” tanya Koko.

“Mbak mau jadi dokter,” jawab Wina.

“Wah, kalo gitu nanti kalau Koko kena tembak Mbak Wina yang ngobatin Koko,” ucap Koko.

Aku dan wina tertawa. Koko pun tersenyum bangga. Koko terlihat sangat gagah. Aku sangat berharap kelak dia bisa menjadi anak yang berguna bagi bangsa ini.

***

Aku menapaki anak tangga menuju kelasku. Hari ini adalah mata kuliah favoritku yaitu perancangan sistem. Suasana kampus hari ini tidak berbeda dengan biasanya ada yang lalu lalang, mengerjakan tugas atau sekedar berbincang.

“ Hallo Ako,” sapa Ruly teman sekelasku.

“Hallo juga Rul,” balasku.

“Kamu sudah dengar ada ribut–ribut mahasiswa fakultas Ekonomi dengan fakultas Teknik?” tanya Ruly.

“Tidak, aku belum mendengar tetang itu,” jawabku.

“Iya, kemarin aku dengar ada anak Ekonomi yang marah dengan anak Teknik karena diejek,” jelas Ruly.

“Memang diejek bagaimana?” tanyaku.

“Kemarin tim futsal Ekonomi tidak terima dengan hasil pertandingan kemarin. Mereka menduga wasitnya memihak kepada tim futsal Teknik. Karena tidak terima dituduh menyogok wasit, tim Teknik marah dengan mengejek dengan menyinggung masalah RAS karena seperti kita tahu fakultas Teknik banyak yang berasal dari luar Jawa,” jelas Ruly.

“O begitu, lantas bagaimana sekarang?” tanyaku.

“Saya juga tidak mengerti tapi kita berharap semuanya bisa diselesaikan dengan baik-baik,” jawab Ruly.

Aku mengangguk setuju, kami pun tiba di kelas yang terletak di lantai 3. Aku dan Ruly masih asyik memperbincangkan masalah pertengkaran itu. Tiba–tiba saja aku mendengar orang yang berteriak–teriak. Aku berlari menuju jendela dan, ya Tuhan..... Sungguh di luar dugaan terjadi bentrok antara fakultas Ekonomi dan fakultas Teknik. Banyak orang berlarian sebagian dari mereka menggunakan helm dan membawa senjata seperti kayu atau bambu.

Fakultasku letaknya bersebelahan dengan fakultas Ekonomi yang diserang oleh fakultas Teknik. Aku sungguh tidak menyangka masalah sepele ternyata bisa menyulut emosi dan sepertinya kali ini tidak hanya melibatkan anggota tim futsal tetapi juga seluruh anak fakultas Ekonomi dan juga fakultas Teknik. Entahlah apakah ini bentuk solidaritas mereka?? Sungguh solidaritas yang salah kaprah!

Banyak mahasiswi yang berlari ketakutan dan menyelamatkan diri dengan memasuki gedung fakultas Ilmu Komputer. Suasana semakin kacau terdengar suara kaca–kaca yang pecah karena terkena lemparan batu. Mahasiswa dari fakultas lain mencoba melerai namun sebagian juga ada yang ikut dalam bentrok. Entah apa yang ada di pikiran mereka, mengapa mereka malah ikut–ikutan. Apa mereka mengetahui duduk perkara yang sebenarnya?? Apa mereka pikir ini ajang unjuk bakat?? Pihak kampus tidak bisa berbuat banyak. Para dosen mencoba meredamnya namun sia-sia. Memang sulit untuk menenangkan hati yang sedang dikuasai setan.

Bentrok semacam ini jarang terjadi di kampusku. Kejadian serupa terjadi kira 1 tahun yang lalu dan lagi–lagi bentrok ini terjadi antara fakultas Ekonomi dan fakultas Teknik, hanya saja waktu itu ada silang pendapat mengenai acara malam dana. Aparat mulai berdatangan namun sepertinya kedatangan mereka tak mampu meredam bentrok. Beberapa mahasiswa ada yang terluka karena terkena lemparan batu. Aku segera bergegas membantu mereka yang terluka. Mereka hanya dibaringkan di lobby fakultasku.

Sesaat kemudian terdengar suara tembakan polisi tetapi tembakan ke udara ini hanya mampu meredam emosi sesaat. Ya Tuhan mengapa begini moral mahasiswa? Apa mereka tidak malu dengan anak–anak SMA yang sekarang sudah tidak pernah tawuran lagi?? Mereka seharusnya bisa menjadi contoh bagi pelajar–pelajar bahwa tawuran itu tidak baik. Mengapa hanya karena hal sepele mereka rela melukai saudara mereka sendiri, rela membuang waktu yang seharusnya mereka gunakan untuk belajar bukankah banyak orang–orang yang ingin berada di sini dengan sebutan MAHASISWA! Lantas kenapa mereka tidak mensakralkan lembaga pendidikan ini?? Mereka hanya memperlakukannya seperti RING TINJU!

Aparat berhasil menangkap beberapa mahasiswa yang diduga menjadi provokator dalam bentrokan ini. Entah apa yang ada di pikiran mereka. memperlakukan kampus seperti sasana tinju, memperlakukan saudara seperti musuh. Apa mereka tidak tahu bahwa banyak yang harus dilakukan ketimbang berkelahi! Bukannya tidak pernah aku terlibat bentrok tapi waktu itu aku dan BEM kampus berunjuk rasa di depan gedung DPR/MPR guna menyuarakan aspirasi rakyat, guna memperjuangkan nasib orang tua kami para rakyat kecil karena semakin terpuruk dengan kemiskinan dan menuntut keadilan.

Awalnya unjuk rasa berlangsung tertib namun suasana memanas ketika perwakilan kami tidak diizinkan masuk ke gedung DPR. Tapi bentrok dengan aparat itu tidak berlangsung lama. Tetapi ada hal yang kami pelajari bahwa berjuang tidak selalu dengan berunjuk rasa. Bentuk protes itu kini tidak lagi berakhir dengan ricuh karena kami membentuk aksi sosial, melakukan protes melalui kesenian dan kegiatan yang lebih bermanfaat.

Aku menarik napas lega ketika suasana sudah mereda. Aparat masih berjaga–jaga di sekitar kampus. Mengapa mereka harus mempersoalkan hal sepele apalagi harus dikaitkan dengan masalah RAS. Bukankah kita satu? Kita warga negara Indonesia!! Kita saudara. Bukankah ini sudah ditanamkan semenjak kita duduk di sekolah dasar?? Dengan mata pelajaran yang menyangkut dengan Indonesia dan kewarganegaraan. Bukankah setiap upacara kita selalu diingatkan akan persatuan Indonesia. Ah, apakah semua itu sia–sia??

Mungkin kita perlu diingatkan kembali atau bahkan upacara bendera tidak hanya sampai di SMA saja. Aku jadi teringat Koko adikku, dia begitu bersemangat melaksanakan upacara. Paling tidak dia hormat kepada bendera Merah Putih karena dia tahu kedamaian begitu sulit untuk diraih dan betapa sulitnya untuk memperjuangkan kemerdekaan dan mengibarkan bendera merah putih menjadi bendera kebangsaan Republik Indonesia.

Read More......

Advertisement

Copyright © 2010 Dufan Blog's All rights reserved.
Wp Theme by Templatesnext . Blogger Template by Anshul